fbpx

PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA GUGATAN DI PENGADILAN

gambar gugatan

A. Perkara Gugatan (Contentiosa)

  1. Pengajuan Gugatan

Pemeriksaan perkara gugatan di pengadilan terjadi karena adanya pengajuan gugatan oleh pihak yang berkepentingan. Perkara perdata ada karena ada pihak yang mengajukan ke pengadilan. Pengajuan gugatan tersebut dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis,[1] dapat diajukan sendiri atau melalui kuasa. Pengajuan gugatan lisan berpedoman pada Pasal 120 HIR/Pasal 144 R.Bg, sedangkan pengajuan tertulis berpedoman pada Pasal 118 ayat (1) HIR / Pasal 142 R.Bg sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu.

  1. Cara Membedakan Penipuan dan Penggelapan
  2. SEMA NO. 02 TAHUN 2020 MENGENAI LARANGAN MEREKAM DAN PENGAMBILAN FOTO DI RUANG SIDANG PENGADILAN BERTENTANGAN DENGAN HUKUM
  3. Bagaimana Tata Cara Mendirikan Perusahaan
  4. Apakah Rakyat Berhak Melakukan Penambangan Menurut Hukum?
  5. Bolekah Pemegang Izin Usaha Pertambangan Emas dan Batubara Diberikan Hak Atas Tanah?
  6. Cara meminta pembatalan Surat Keuputsan TUN Berupa Sertifikat Hak Milik (SHM)
  7. Cek Kosong Apakah Pidana Atau Perdata

Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

a. Diajukan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang (Kompetensi Absolut dan Relatif) sebagaimana diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR/142 RBg yang berbunyi :

Gugatan perdata atau tuntutan hak yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123 kepada Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, ke tempat tinggal sebetulnya”.

Pasal di atas menunjukkan, dalam hal perkara perdata gugatan harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Kompetensi Absolut) dimana tergugat bertempat tinggal (Kompetensi Relatif)[2] (asas actor sequitor forum rei), misalnya sengketa tanah, perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH), perkara utang piutang, wanprestasi, dll. Namun, dalam hal perkara-perkara gugatan ataupun permohonan orang yang beragama Islam seperti poligami, perwalian, perceraian, warisan, harta bersama, hak asuh anak, dan lain-lain diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama setempat sesuai dengan wilayah hukumnya atau kompetensi relatifnya pengadilan.

Bagaimana jika Tergugatnya berada diluar negeri ? Mengutip pendapat salah seorang Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sujatmiko mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada keharusan untuk mendaftarkan gugatan yang tergugatnya di luar negeri ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, untuk tergugat yang berada di luar negeri berlaku Pasal 118 ayat (3) HIRyang menentukan gugatan diajukan pada Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat.

Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri menyampaikan gugatan tersebut melalui Direktorat Jenderal Protokol pada Kementerian Luar Negeri untuk memanggil tergugat yang berada di luar negeri karena Direktorat Jenderal Protokol ini berlokasi di Jakarta Pusat, maka pada umumnya gugatan terhadap tergugat yang berada di luar negeri, diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Meskipun misalnya penggugat ternyata mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Cirebon (contoh), pemanggilan tergugat juga akan melalui delegasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk kemudian gugatan tersebut disampaikan melalui Direktorat Jenderal Protokol pada Kementerian Luar Negeri. Ketentuan serupa dapat kita temui dalam Pasal 20 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Kemudian, Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Jadi, dapat simpulkan bahwa tidak ada keharusan bahwa gugatan terhadap tergugat yang berada di luar negeri harus diajukan/didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[3]

1 2 3 4 5 81 82 83 84

Pasal 118 HIR /142 R.Bg sebagai dasar gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana tergugat bertempat tinggal (asas actor sequitor forum rei) mengatur juga pengecualiannya yaitu :

  1. Diajukan di tempat kediaman tergugat yang terakhir yang sebenarnya apabila tidak diketahui tempat tinggalnya.
  2. Apabila tergugat lebih dari satu orang diajukan di tempat tinggal salah satunya sesuai pilihan penggugat.
  3. Satu tergugat sebagai yang berhutang dan satu lagi penjamin diajukan di tempat tinggal yang berhutang, apabila tempat tinggal tergugat (berhutang) dan tempat turut tergugat (penjamin) berbeda maka diajukan dimana tempat tinggal tergugat.
  4. Jika tidak dikenal tempat tinggal dan kediaman tergugat diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
  5. Jika objeknya benda tetap diajukan di tempat benda tetap itu berada.
  6. Jika ditentukan dalam perjanjian (akta) ada tempat tinggal yang dipilih (domisili hukum), maka gugatan diajukan di tempat tinggal yang dipilih tersebut (pilihan domisili hukum), namun jika penggugat mau memilih berdasarkan tempat tinggal tergugat, maka gugatan juga dapat diajukan di tempat tinggal tergugat.

b. Setiap perkara yang diajukan wajib membayar persekot/panjar biaya perkara (182 ayat (1) HIR) karena asas hukum acara perdata adalah berperkara dikenakan biaya.

Dalam praktiknya, berapa besarnya biaya panjar perkara tergantung keadaan perkara, misalnya radius panggilan dan pemberitahuan pihak-pihak. Semakin jauh radius pihak-pihak semakin besar pula biaya panjar perkaranya. Biaya panjar perkara ini apabila nanti dalam perjalanan perkaranya mengalami kekurangan setelah diberitahu panitera sementara perkara belum selesai, maka penggugat wajib menambahnya,[4] dan apabila perkara selesai sedangkan biaya panjar perkara masih bersisa, maka uang sisa panjar perkara tersebut dikembalikan oleh pengadilan.

Apakah dalam berperkara boleh tanpa biaya (prodeo) ? Boleh saja asal memenuhi syarat. Hal ini diatur dalam Pasal 237 HIR berbunyi “Bagi orang yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diberi izin untuk berperkara tanpa biaya”. Hal atas ini dasar kemanusiaan dan keadilan umum, sehingga kepada pihak prodeo tidak dikenakan biaya administrasi dan juru sita. Hal ini dapat dilakukan baik oleh pihak penggugat maupun tergugat. Pasal 237 sampai dengan Pasal 245 HIR mengatur tentang kemungkinan untuk berperkara dengan tidak membayar biaya bagi orang yang tidak mampu, syarat-syarat dan cara-caranya berperkara itu.

Apabila yang meminta izin itu penggugat, maka permohonan itu harus diajukan pada waktu ia memasukkan surat gugatannya atau pada waktu ia mengajukan gugatannya dengan lisan, sedangkan apabila yang memohon untuk diperkenankan berperkara dengan cuma-cuma itu orang yang digugat, maka permintaan itu harus diajukan pada waktu ia menjawab gugatan itu.

Dalam kedua hal permohonan itu harus disertai surat keterangan tidak mampu yang diberikan oleh kepala polisi tempat tinggal pemohon itu yang harus berisi suatu keterangan bahwa kepala polisi setelah menyelidiki mengetahui bahwa pemohon itu sama sekali tidak mampu (Pasal 238 HIR). Sekarang dalam praktiknya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) diberikan oleh Camat atau sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa setempat.

Pada hari persidangan yang pertama pemeriksaan dan keputusan tentang berperkara dengan tidak membayar biaya itu diselenggarakan terlebih dahulu sebelum pokok perkara itu diperiksa. Pada sidang pemeriksaan itu pihak lawan orang yang meminta berperkara dengan cuma-cuma itu dapat menentang permohonan izin itu, baik dengan menyatakan bahwa tuntutannya itu atau pembelaan pemohon tidak beralasan ataupun dengan membuktikan bahwa ia mampu untuk membayar ongkos perkara. Selain dari itu hakim sendiri karena jabatannya, atas sesuatu alasan, juga dapat menolak permohonan itu (Pasal 239 HIR).

Keputusan tentang izin berperkara tanpa biaya itu tidak dapat dibanding atau dimintakan kasasi (Pasal 241 HIR). Izin berperkara dengan cuma-cuma hanya berlaku untuk pemeriksaan tingkat pertama, dan izin berperkara tanpa bayaran pada tingkat banding harus diperoleh dengan baru dari hakim tingkat banding (Pasal 242, 244, 245 HIR dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor  20 Tahun 1947).

Apabila pihak yang mendapat izin berperkara tanpa bayaran itu menang perkaranya, maka pihak lawan dihukum membayar ongkos perkara itu seolah-olah pihak yang lain tidak berperkara dengan percuma. Tata caranya dapat lihat pada Pasal 238 ayat (1) dan (2) HIR.

Syarat permintaan prodeo yaitu :

  1. Harus ada Surat Keterangan Tidak Mampu dari pemerintah setempat (Lurah/Kepala Desa) yang berisi pemohon benar-benar tidak mampu. Isi surat keterangan mengenai penjelasan bahwa berdasarkan pemeriksaan atau penelitian, pemohon benar-benar orang yang tidak mampu (Pasal 238 ayat 3 HIR).
  2. Selanjutnya hakim dapat mengabulkan (putusan) atau menolak pada sidang pertama sebelum pemeriksaan perkaranya (Pasal 239 ayat 1 HIR).
  3. Atas permintaan pemohon pihak lawan diizinkan melakukan perlawanan atas dasar pemohon tidak beralasan dan pada dasarnya adalah mampu (Pasal 239 ayat 1).
  4. Putusan izin prodeo tidak dapat di Banding karena sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir (Pasal 291 HIR).

c. Perkara yang telah diajukan tersebut oleh Panitera mendaftarkan dalam buku register perkara dan memberi nomor perkara dalam surat gugatan tersebut (Pasal 21 ayat (4) HIR),

misalnya perkara Nomor 02/Pdt.G/2017/PN.TBH. Nomor 02 artinya nomor urut perkara, Pdt artinya Perdata, G artinya Gugatan, 2017 artinya tahun gugatan didaftarkan, PN artinya Pengadilan Negeri dan TBH artinya Tembilahan sebagai wilayah hukum pengadilan negeri tersebut. Dengan telah diberikan nomor perkara pada surat gugatan, maka pihak penggugat tinggal menunggu panggilan sidang saja lagi yang diberitahukan oleh pengadilan melalui juru sita.

d. Gugatan yang sudah diberi registrasi nomor perkara akan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri oleh panitera secepatnya[5],

Dalam hal ini berdasarkan Mahkamah Agung dalam buku pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi peradilan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal registrasi.

e. Ketua Pengadilan menetapkan majelis hakim (paling sedikit 3 orang) paling lambat 7 hari sejak penerimaan.

Apakah boleh hakim tunggal ? hakim tunggal boleh, seperti daerah-daerah terpencil, yang masih kekurangan hakim, dan tranportasi mahal. namun kondisi sekarang ini sudah tidak relevan lagi karena sudah banyak hakim dan transportasi sudah lancar. Apabila Ketua Pengadilan berhalangan penetapan Majelis Hakim dapat dilakukan oleh Wakil Ketua Pengadilan.

f. Ketua Pengadilan menyerahkan gugatan ke majelis hakim paling lambat 7 hari sejak penetapan majelis hakim.

TENTANG  E COURT  (PERMA Nomor 1 Tahun 2019)

Administrasi Perkara Secara Elektronik adalah serangkaian proses penerimaan gugatan/ permohonan/keberatan/ bantahan/ perlawanan/intervensi, penerimaan pembayaran, penyampaian panggilan/ pemberitahuan, jawaban, replik, duplik, kesimpulan, penerimaan upaya hukum, serta pengelolaan, penyampaian dan penyimpanan dokumen perkara perdata/ perdata agama/tata usaha militer/tata usaha negara dengan
menggunakan sistem elektronik yang berlaku di masingmasing lingkungan peradilan.

Persidangan secara elektronik (e-litigasi) berlaku untuk proses persidangan dengan acara penyampaian gugatan/ permohonan / keberatan / bantahan /perlawanan/intervensi beserta perubahannya, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan pengucapan putusan/penetapan.

Persidangan secara elektronik dengan acara penyampaian gugatan, jawaban, replik, duplik dan kesimpulan, dilakukan dengan prosedur:
a. para pihak wajib menyampaikan dokumen elektronikpaling lambat pada hari dan jam sidang sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
b. setelah menerima dan memeriksa dokumen elektronik tersebut, Hakim/Hakim Ketua
meneruskan dokumen elektronik kepada para pihak.
(2) Jawaban yang disampaikan oleh tergugat harus disertai dengan bukti berupa surat dalam bentuk dokumen elektronik.
(3) Panitera Pengganti wajib mencatat semua aktivitas pada persidangan secara elektronik dalam Berita Acara Sidang Elektronik.
(4) Para pihak yang tidak menyampaikan dokumen elektronik sesuai dengan jadwal dan acara persidangan tanpa alasan sah berdasarkan penilaian Hakim/Hakim Ketua, dianggap tidak menggunakan haknya.

Dalam hal pendaftaran perkara Online, saat ini dikhususkan untuk Advokat. Pengguna terdaftar harus setelah mendaftar dan mendapatkan Akun, harus melalui mekanisme validasi Advokat oleh Pengadilan Tinggi tempat dimana Advokat disumpah, sedangkan pendaftaran dari Perseorangan atau Badan Hukum akan diatur lebih lanjut. Layanan dan Penjelasan singkat Pendaftaran Perkara Online.

Pendaftaran perkara online dilakukan setelah terdaftar sebagai pengguna terdaftar dengan memilih Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, atau Pengadilan TUN yang sudah aktif melakukan pelayanan e-Court. Semua berkas pendaftaran dikirim secara elektronik melalui aplikasi e-Court Makamah Agung RI.

Pendaftaran Perkara (e-Filing) adalah layanan bagi Pengguna Terdaftar untuk Pendaftaran Perkara Secara Online, Mendapatkan Taksiran Panjar Biaya Perkara secara online, Pembayaran secara online, Pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik, dan Persidangan yang dilakukan secara Elektronik.

Advokat selaku Pengguna Terdaftar dan Para Pencari Keadilan (Non-Advokat) selaku Pengguna Lainnya yang sudah terdaftar dapat beracara di seluruh Pengadilan yang sudah aktif dalam pemilihan saat mau mendaftar perkara baru.

Dengan melakukan pendaftaran perkara online melalui e-Court, Pendaftar akan secara otomatis mendapatkan Taksiran Panjar Biaya (e-SKUM) dan Nomor Pembayaran (Virtual Account) yang dapat dibayarkan melalui saluran elektronik (Multi Channel) yang tersedia.

Setelah Pendaftar melakukan pembayaran sesuai Taksiran Panjar Biaya (e-Skum), Pengadilan memberikan Nomor Perkara pada hari dan jam kerja, kemudian aplikasi e-Court akan memberikan notifikasi/pemberitahuan bahwa perkara sudah terdaftar di Pengadilan.

Panggilan sidang dan Pemberitahuan Putusan disampaikan kepada para pihak melalui saluran elektronik ke alamat email para pihak serta informasi panggilan tersebut bisa dilihat pada aplikasi e-Court.

Aplikasi mendukung dalam hal persidangan secara elektronik (online) sehingga dapat dilakukan pengiriman dokumen persidangan seperti Replik, Duplik, Jawaban dan Kesimpulan secara elektronik.

Aplikasi memuat informasi putusan yaitu tanggal putusan, amar putusan, tanggal minutasi dan salinan putusan elektronik dapat diunduh melalui aplikasi ini. Penandatanganan berkas Salinan Putusan Elektronik. Untuk kelancaran dalam mendukung program e-Court Mahkamah Agung RI bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melalui Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE) yang merupakan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang keamanan siber dan persandian sebagai sarana pengamanan legalitas dokumen perkara.

B.  PENETAPAN HARI SIDANG DAN PEMANGGILAN PARA PIHAK

Hari sidang ditetapkan oleh Majelis Hakim yang ditunjuk dengan surat penetapannya yaitu paling lambat 7 hari sejak berkas diterima. Adapun tata cara pemanggilan dapat dilihat dalam buku pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi peradilan sebagai berikut :

C. PERSIDANGAN PERTAMA

Jika pada persidangan pertama para pihak sudah dipanggil secara sah dan patut, namun tidak hadir, misalnya pihak penggugat tidak hadir atau  wakil/kuasa yang ditunjuk (kuasa hukumnya), sedangkan tergugat hadir. Dalam hal ini menurut Pasal 126 HIR/150 RBg, majelis hakim dapat memanggil sekali pihak yang tidak hadir agar hadir pada sidang berikutnya, biasanya sebanyak 3 kali panggilan. Walaupun HIR/Rbg tidak mengatur berapa kali harus dipanggil. Jika masih penggugat tidak hadir, maka akibat hukumnya gugatan dinyatakan GUGUR.  Namun penggugat dapat mengajukan gugatan satu kali lagi dengan kembali membayar biaya/persekot (Pasal 124 HIR). Pasal 124 HIR berbunyi :

Yatra Thank You

Your booking has been confirmed. We will get back to you soon.

Read More
1 2 3 4 5 6 7 8
  1. Majelis hakim yang telah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan menetapkan hari sidang 7 hari paling lambat setelah menerima berkas perkara.
  2. Dalam melakukan pemanggilan para pihak tenggang waktu antara pemanggilan dengan hari sidang tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari.
  3. Tata cara melakukan pemanggilan :
    a. Dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti (Pasal 388 jo Pasal 390 ayat (1) HIR, Pasal 1 Rv). Tugas juru sita adalah membantu panitera melaksanakan pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan dan eksekusi (lihat juga Pasal 39 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum).
    b. Pemanggilan dilakukan dengan surat panggilan (relas) dan salinan surat gugatan (Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 1 Rv).
    c. Pemanggilan melalui media cetak dibenarkan dalam hal perkara perceraian sebagaimana diatur dalm Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Tidak dibenarkan pemanggilan lisan karena tidak sah menurut hukum.

d. Bertemu langsung dengan orang yang dipanggil di tempat tinggal/kediaman (Pasal 390 ayat (1) HIR, Psal 1 Rv). Dalam praktik peradilan disampaikan kepada pihak keluarga (istri, anak dewasa, ayah dan ibu) sudah sah, dengan alasan karena yang bersangkutan tidak ditemui juru sita di tempat kediaman.
e. Jika tidak ketemu baik yang bersangkutan maupun keluarganya disampaikan kepada kepala desa/lurah (Pasal 390 ayat (1) dan Pasal 3 Rv).
~ Harus ada perintah kepada Kepala Desa agar menyampaikan surat panggilan tersebut.
~ Sahnya panggil ini apabila Kepala Desa benar-benar menyampaikannya kepada yang bersangkutan. Untuk itu Kepala Desa tidak boleh melalaikannya.
~ Surat panggilan (relaas) harus dikembalikan ke pengadilan sebagai bukti sah telah dilakukan pemanggilan.
f. Jika ada pihak yang tidak diketahui tempat tinggal dan kediamannya dilakukan pemanggilan melalui Bupati/Walikota di wilayah hukum penggugat. Lalu diumumkan dengan cara ditempelkan pada pintu umum kamar persidangan pengadilan yang bersangkutan. Hal ini disebut dengan panggilan umum atau pemberitahuan umum (Pasal 390 ayat 3 HIR). Namun menurut Pasal 6 ke 9 Rv pengumuman pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum pengadilan tersebut, sehingga lebih diketahui tergugat adanya panggilan sidang tersebut. Hal ini dalam praktik juga berlaku pada panggilan alamat luar negeri namun tidak diketahui alamatnya seagai panggilan umum.
g. Jika si tergugat meninggal dunia ke semua ahli warisnya, jika tidak diketahui maka diserahkan kepada Kepala Desa/Lurah (Pasal 390 ayat 2 HIR, Pasal7 Rv). Kemudian Kepala Desa segera menyampaikan kepada ahli warisnya, apabila Kepala Desa tidak mengenal ahli waris, panggilan di kembalikan kepada juru sita denga surat keterangan tidak diketahui dan tidak dikenal. Kemudian atas dasar tersebut juru sita dapat melakukan pemanggilan umum.
h. Jika para pihak bertempat tinggal di luar wilayah hukum (yuridiksi) pengadilan negeri yang memeriksa perkara relaas dikirim ke pengadilan negeri di mana pihak itu bertempat tinggal, selanjutnya juru sita pengadilan negeri tersebut yang berwenang memanggil. Ini disebut dengan pemanggilan delegasi (Pasal 5 Rv).
i. Jika berada di luar wilayah Indonesia, diketahui alamatnya dikirim ke kedutaan besar Indonesia, konsulat, Deplu (Pasal 6 ke-8 Rv).
j. Jarak waktu pemanggilan dengan hari sidang yaitu 8 hari apabila jaraknya tidak jauh, 14 hari apabila jaraknya agak jauh dan 20 hari apabila jaraknya jauh (Pasal 122 HIR/ Psal 10 Rv). Apabila dalam keadaan mendesak, jarak waktu tidak boleh kurang dari 3 hari. Apabila tergugatnya banyak jaraknya berpedoman pada alamat tergugat yang paling jauh.
k. Larangan pemanggilan/pemberitahuan apabila, yaitu :
~ Dilakukan sebelum jam 6 pagi.
~ Dilakukan setelah jam 6 sore.
~ Dilakukan hari minggu.
Kecuali :
~ Ada izin dari pengadilan;
~ Izin diberikan atas permintaan Penggugat;
~ Izin diberikan dalam keadaan mendesak;
~ Izin diberikan pada kepala surat panggilan/pemberitahuan.

C. PERSIDANGAN PERTAMA
Jika pada persidangan para pihak sudah dipanggil, namun penggugat tidak hadir, sedangkan tergugat hadir. Dalam hal ini menurut Pasal 126 HIR/150 RBg, majelis hakim dapat memanggil sekali pihak yang tidak hadir agar hadir pada sidang berikutnya, biasanya dalam praktik sebanyak 3 kali panggilan. Jika masih penggugat tidak hadir, maka akibat hukumnya gugatan dinyatakan gugur. Namun penggugat dapat mengajukan gugatan satu kali lagi dengan kembali membayar biaya/persekot (lihat Pasal 124 HIR). Pasal 124 HIR berbunyi :

”Apabila pada hari yang telah ditentukan Penggugat tidak hadir dan tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil secara patut, maka gugatannya dinyatakan gugur dan ia dihukum membayar biaya perkara, tetapi ia berhak untuk mengajukan gugatan sekali lagi, setelah ia membayar lebih dahulu biaya tersebut”.

Selanjutnya apabila penggugat hadir, tergugat tidak hadir, maka menurut Pasal 125 HIR/150 RBG, putusan menjadi Verstek yaitu suatu putusan yang dijatuhkan hakim karena Tergugat tidak hadir dipersidangan setelah dipanggil secara sah dan patut sesuai dengan ketentuan perundnag-undangan yang berlaku. Pasal 125 HIR berbunyi :

”Apabila pada hari yang telah ditentukan Penggugat tidak hadir dan tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil secara patut, maka gugatannya dinyatakan gugur dan ia dihukum membayar biaya perkara tetapi ia berhak untuk mengajukan gugatan sekali lagi, setelah ia membayar lebih dahulu biaya tersebut”.

Selanjutnya apabila penggugat hadir, tergugat tidak hadir, maka menurut Pasal 125 HIR/150 RBg, putusan menjadi Verstek yaitu suatu putusan yang dijatuhkan hakim karena Tergugat tidak hadir dipersidangan setelah dipanggil secara sah dan patut sesuai dengan ketentuan perundnag-undnagan yang berlaku. Pasal 125 HIR berbunyi :

“Apabila pada hari yang telah ditentukan, Tergugat tidak hadir dan  pula tidak menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, padahal ia sudah dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi pengadilan, bahwa gugatan tersebut melawan hak atau tidak beralasan.

Berdasarkan hal di atas, putusan verstek dapat mengakibatkan pihak Tergugat dikalahkan, sedangkan gugatan dapat dikabulkan sepanjang gugatan tersebut tidak melawan hak atau gugatan tersebut beralasan, maka sebelum putusan verstek biasanya dilanjutkan dahulu dengan sidang pemeriksaan perkara dengan kewajiban juga pihak Penggugat mengajukan bukti-bukti sesuai dengan dalil-dalil gugatan yang diajukannya.

Adapun syarat acara verstek sebagai berikut :

  1. Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut.
  2. Yang melaksanakan pemanggilan juru sita.
  3. Menggunakan Surat Panggilan (Relaas).
  4. Jarak waktu pemanggilan dengan hari sidang yaitu 8 hari apabila jaraknya tidak jauh, 14 hari apabila jaraknya agak jauh dan 20 hari apabila jaraknya jauh (Pasal 122 HIR/ Psal 10 Rv). Apabila dalam keadaan mendesak, jarak waktu tidak boleh kurang dari 3 hari. Apabila tergugatnya banyak jaraknya berpedoman pada alamat tergugat yang paling jauh.
  5. Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah.
  6. ergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi.
  7. Upaya hukum dari verstek adalah verzet / perlawanan.

Bentuk putusan Verstek sebagai berikut :

1. Menggabulkan gugatan penggugat, terdiri dari :

  • Mengabulkan seluruh gugatan.
  • Mengabulkan sebagian gugatan.

Hal ini terjadi jika gugatan beralasan dan tidak melawan hukum.

2. Gugatan tidak dapat diterima, apabila gugatan melawan hukum atau ketertiban dan kesusilaan (unlawful). Gugatan ini dapat diajukan kembali, tidak berlaku asas ne bis in idem.

3. Gugatan ditolak apabila gugatan tidak beralasan. Gugatan ini tidak dapat diajukan kembali. Upaya hukum dari verstek adalah verzet / perlawanan.

D. PERDAMAIAN  (Dading)

Dalam proses persidangan, setelah para pihak baik Penggugat maupun Tergugat dipanggil secara sah dan patut hadir keduanya di persidangan, maka diupayakan dilakukan perdamaian. Perdamaian dasar hukumnya Pasal 130 HIR/154 RBg. Pasal 130 HIR berbunyi :

(1) Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak menghadap, maka pengadilan negeri, dengan perantaraan ketuanya, akan mencoba memperdamaikan mereka itu. (IR. 239.)
(2) Jika perdamaian terjadi, maka tentang hal itu, pada waktu sidang, harus dibuat sebuah akta, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yahg dibuat itu, maka surat (akta) itu berkekuatan dan akan dilakukan sebagai keputusan hakim yang biasa. (RV. 31;IR. 195 dst).

Pasal 154 RBg hampir sama bunyinya.
Dengan demikian perdamaian dalam perkara perdata dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Perdamaian dasar hukumnya Pasal 130 HIR/154 RB
  2. Upaya yang pertama kali dilakukan oleh hakim (dengan sarana mediasi PERMA No. 1 Tahun 2016).
  3. Dilakukan selama sebelum hakim menjatuhkan putusan (vonis)
  4. Dapat menyelesaikan perkara.
  5. Perdamaian dituangkan dalam akta perdamaian (acte van vergelijk) di mana mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim.
  6. Tidak dapat dibanding kesepakatan para pihak/menurut kehendak para pihak.

Tujuan perdamaian adalah :

  1. Mencegahnya timbulnya perselisihan di kemudian hari di antara para pihak.
  2. Menghindari biaya mahal.
  3. Menghindari proses perkara dalam jangka waktu lama.
  4. Perdamaian dituangkan dalam akta perdamaian (acte van vergelijk) di mana mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim.
  5. Tidak dapat dibanding kesepakatan para pihak/menurut kehendak para pihak.

Apabila pada hari yang telah ditentukan para pihak yang berperkara perdata hadir dipersidangan, menurut ketentuan Pasal 130 ayat (1) HIR/Pasal 154 ayat (1) RBg, Hakim diwajibkan untuk mengusahakan perdamaian antar mereka. Apabila hakim tidak melakukan upaya perdamaian, dan langsung kepada pemeriksaan perkara maka berkibat pemeriksaan tidak sah dan pemeriksaan dinyatakan batal demi hukum.

Dalam rangka mengefektifkan ketentuan pasal diatas Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks. Pasal Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg) yang kemudian diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 11 September 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Terakhir diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Peraturan Mahkamah Agung  (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa  secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada Para Pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan.

Pasal 1 angka 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses  perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Pada angka 2 disebutkan  bahwa Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

1 2 3 4 5 97 98 99 100

Jenis perkara wajib menempuh Mediasi diatur dalam Pasal 4 PERMA tersebut yaitu :

  1. Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.
  2. Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya meliputi antara lain:

  • Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga.
  • Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan Industrial;
  • Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
  • Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
  • Permohonan pembatalan putusan arbitrase;
  • Keberatan atas putusan Komisi Informasi;
  • Penyelesaian perselisihan partai politik;
  • Sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana; dan
  • Sengketa lain yang pemeriksaannya dipersidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

b.  Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut;

c. Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi);

d. Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan;

e. Sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar Pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator bersertipikat.

3. Pernyataan ketidakberhasilan Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan salinan sah Sertifikat Mediator dilampirkan dalam surat gugatan.

4. Berdasarkan kesepakatan Para Pihak, sengketa yang dikecualikan kewajiban Mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf e tetap dapat diselesaikan melalui Mediasi sukarela pada tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum.

Putusan perdamaian yang dibuat oleh hakim karena adanya perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara tersebut kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Lihat Pasal 130 ayat (2) HIR/Pasal 154 ayat 2 RBg/Pasal 185 ayat (1) BW jo. MA tanggal 1-8-1973 Nomor 1038 K/Sip/1972).

E. JAWABAN TERGUGAT

Apabila perdamaian tidak tercapai atau tidak berhasil setelah dilakukan upaya melalui mediasi sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016, maka pada sidang berikutnya yang telah ditentukan, hakim dapat melanjutkan persidangan.[6]

Namun demikian tetaplah hakim harus selalu mengupayakan perdamaian dengan cara yang mana pada setiap persidangan ditawarkan upaya perdamaian tersebut sampai kelak hakim akan menjatuhkan putusannya karena perdamaian dalam perkara perdata lebih penting, bahkan diperoleh keadilan bagi para pihak daripada sekedar putusan hakim yang selalu berakhir menang kalah.

Pengalaman praktik penulis, Pada persidangan yang belum tercapainya perdamaian, hakim selanjutnya memerintahkan kepada Penggugat untuk membacakan gugatan atau dalam praktiknya kadang disepakati bersama antara kedua belah pihak bahwa gugatan dianggap sudah dibacakan. Tapi apabila salah pihak tetap agar gugatan dibacakan, maka hakim  memerintahkan agar gugatan dibacakan. Namun sebelum gugatan dibacakan hakim juga mempertanyakan apakah ada perubahan terhadap gugatan, baik perubahan karena adanya penambahan maupun pengurangan.

Dalam praktiknya alasan gugatan “dianggap” sudah dibacakan adalah :

  • Disepakati kedua belah pihak;
  • Mengefektifkan waktu yang ad;
  • Pada dasarnya gugatan isinya sudah diketahui Tergugat ketika gugatan disampaikan oleh Pengadilan (ic.juru sita) kepada Tergugat sebelum persidangan pertama.

Setelah gugatan dibacakan oleh penggugat, maka Hakim akan menanyakan isi gugatan tersebut kepada Tergugat tentunya terkait dengan tanggapannya yang disebut dengan JAWABAN TERGUGAT, dalam hal ini Tergugat memberikan jawaban atas gugatan tersebut, boleh tertulis atau lisan. Jawaban tertulis bisa dijawab langsung dengan menyerahkan jawabannya yang sebelumnya telah dipersiapkan, namun apabila jawaban tersebut belum siap, maka biasanya diberi waktu satu minggu atau lebih tergantung persetujuan dengan hakim yang menyidangkannya. Jawaban lisan bisa disampaikan langsung pada saat itu kepada hakim, dan panitera akan mencatatnya. Sebaiknya jawaban gugatan diberikan dengan tertulis apalagi menggunakan jasa advokat atau kuasa hukum.

Jawaban tergugat dapat terdiri dari tiga macam yaitu :

  1. Eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara, misalnya eksepsi tidak berwenang mengadili, kuang pihak, obcuur libel, dll.
  2. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale).
  3. Rekonvensi yaitu gugat balik atau balas yang diajukan tergugat kepada penggugat, misalnya rekovensi dalam perkara cerai gugat dan cerai talak rekovensi tentang hak asuh anak, gono-gini, nafkah-nafkah.

Adapun bentuk Jawaban Tergugat atas gugatan sebagai berikut :

  1. Mengakui menyelesaikan perkara dan tidak ada pembuktian (alat bukti Pengakuan).
  2. Membantah harus dengan alasan (tunjukkan alat bukti pada saat pembuktian sebagai bukti bantahan).
  3. Referte, tidak mengakui dan tidak membantah.

F. EKSEPSI  / Tangkisan.

  1. Pengertian dan Bentuknya

Tergugat dalam Jawaban Gugatannya terhadap isi gugatan dapat melakukan eksepsi/tangkisan yaitu suatu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara.

Pada umumnya yang diartikan dengan eksepsi ialah suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak mengenai pokok perkara.

HIR hanya mengenal satu macam eksepsi yaitu eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim baik kekuasaan relatif maupun kekuasaan absolut (kompetensi relatif/nisbi dan kompetensi absolut/mutlak). Kedua eksepsi ini disebut dengan Eksepsi Prosesual.

Menurut M. Yahya Harahap,  Eksepsi (Exeptie, Belanda) secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum acara, bermakna tangkisan atau bantahan yang :[7]

  1. Ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yaitu jika gugatan diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima ((niet ontvankelijk verklaard / inadmissible).
  2. Jadi yang di eksepsi bukan menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verwee ten principale.) karena bantahan terhadap materi pokok perkara, diajukan sebagai bagian tersendiri mengikuti eksepsi.

Tujuan pokok pengajuan eksepsi ini adalah agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa pokok perkara. Eksepsi diatur dalam Pasal 136HIR.

2.  Cara Mengajukan Eksepsi

Diatur dalam beberapa pasal yaitu Pasal 125 HIR ayat (2), Pasal 133 dan Pasal 136 HIR. Cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan kapan eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan.

  1. Cara mengajukan eksepsi kewenangan absolut (Exceptio Declinatoir)

Hal ini diatur dalam Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv yaitu :

a. Dapat diajukan Tergugat setiap saat, yaitu selama proses pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat pertama, sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan.

b. Secara ex officio, Hakim harus menyatakan diri tidak berwenang. Hal ini diatur dalam Pasal 132 Rv yang berbunyi bahwa :

“Dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya karena jabatannaya wajib menyatakan dirinya tidak berweanang”.

Ketentuan pasal diatas, menunjukkan bahwa apabila eksepsi kompetensi absolut tersebut tidak diajukan oleh Tergugat, maka Hakim yang mengetahui bahwa perkara yang diajukan bukan merupakan kewenangannya (diluar yuridiksinya), maka hakim harus menyatakan diri tidak  berwenang mengadili perkara tersebut karena bukan kompetensinya (lihat Putusan MA No. 317K/Pdt/1984 taggal 9 – 5 – 1984).

c. Dapat diajukan pada tingkat Banding dan Kasasi.

Hal ini dapat dituangkan dalam Memori Banding atau Memori Kasasi ketika pihak mengajukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi atau Kasasi ke Mahkamah Agung, dengan alasan telah terjadi cara mengadili hakim melampaui batas kewenangannya. Namun tetaplah jika dalam alasan memori tergugat tidak mencantumkan eksepsi ini, hakim dengan ex officio nya jika mengetahui adanya pelanggaran mengenai kewenangan mengadili (kompetensi absolut), maka harus menjatuhkan putusan bahwa hakim tidak berwenang mengadili.

2. Cara mengajukan eksepsi relatif (Relative Competentie).

Hal ini diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 13 HIR, sebagai berikut :

a. Bentuk pengajuan.

1) Berbentuk Lisan, hal diatur dalam Pasal 133 HIR. Pasal ini menujukkan eksepsi lisan diperbolehkan. Dengan demikian pengadilan tidak boleh menolak atau menyampingkannya, hakim wajib menerima dan mencatatnya dalam Berita Acara Sidang, untuk dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana mestinya.

2) Berbentuk tulisan, hal ini diatur dalam Pasal 125 ayat (2) juncto Pasal 121 HIR. Menurut Pasal  121 HIR  tergugat pada hari sidang yang ditentukan diberi hak mengajukan jawaban eksepsi tertulis, sedangkan Pasal 25 ayat (2) menyatakan bahwa :

  • Dalam surat jawaban tergugat dapat mengajukan eksepsi komptensi relatif yang menytakan perkara yang disengketakan tidak termasuk kewenangan relative pengadilan yang bersangkutan.
  • Oleh karena eksepsi itu dikemukakan dalam surat jawaban, berarti pengajuannya bersama-sama dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari bantahan pokok perkara (lihat contoh Jawaban Tergugat terlampir).

Dalam praktiknya eksepsi absolut atau relatif, oleh Tergugat dalam Jawabannya, selalu dengan sistematika sebagai berikut :

  • Dalam Eksepsi, dengan mengajukan beberapa eksepsi.
  • Dalam Pokok Perkara, dengan mengajukan pengakuan atau bantahan dalil-dalil
  • Dalam Rekonvensi (jika diperlukan), yaitu gugatan balik atau balas oleh Tergugat kepada Penggugat.

b. Saat pengajuan eksepsi kompetensi relatif

Menurut Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR, pengajuan eksepsi ini harus disampaikan pada sidang pertama dan bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara.  Apabila dalam sidang pertama belum diajukan jawaban, tidaklah gugur hak mengajukan eksepsi kompetensi relatif. Misalnya pada sidang pertama pihak penggugat atau tergugat tidak hadir baik berdasarkan alasan yang sah atau tidak, maka biasnaya sidang diundurkankan oleh hakim, maka patloan sidang pertama untuk mengajukan eksepsi adalah pada sidang berikutnya pada saat tergugat mengajukan jawaban pertama atau para pihak hadir pada sidang pertama tetapi tergugat meminta sidang diundur untuk menyusun jawaban.

Dalam hal ini, tetap terbuka hak bagi tergugat mengajukan eksepsi kompetensi relatif pada sidang yang akan datang, bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama (lihat juga Putusan MA No. 1340K/Si/1971).

Berarti apabila tergugat telah mengajukan jawaban terhadap pokok perkara pada penyampaian jawaban pertama yang tidak diikuti dengan eksepsi gugur hak mengajukannya pada sidang dan jawaban berikutnya. Jadi, berbeda dengan eksepsi kompetensi absolut yang dapat diajukan setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung. Eksepsi kompetensi relatif hanya terbatas pengajuannya pada penyampaian jawaban pertama. Untuk itu tidak dipenuhi syarat ini, mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukannya menjadi gugur.

c. Cara dan saat pengajuan eksepsi lain

Walaupun undang-undang hanya menyebut eksepsi kompetensi absolut dan relatif , namun ada beberapa eksepsi lainnya yang diakui keabsahannya dan keberadaannya oleh doktrin hukum dan praktik peradilan. Eksepsi ini diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama terhadap pokok perkara (Pasal 114 Rv), apabila tidak diajukan pada jawaban pertama, maka hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi ini. Boleh tertulis maupun lisan.

3. Jenis Eksepsi

Secara teoritis ada 2 (dua) jenis eksepsi, yaitu :

  1. Eksepsi Prosesual (Processuale Exceptie)

Eksepsi ini berdasarkan hukum acara yaitu jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidah sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima perdata (niet ontvankelijk verklaard).

Eksepsi ini dibagi dua bagian yaitu :

a. Eksepsi tidak berwenang mengadili baik absolut maupun relatif

Eksepsi tidak berwenang mengadili secara absolut (kompetensi absolut), adalah terkait dengan badan peradilan yang berwenang mengadilinya. Misalnya apakah kewenangan peradilam umum, peradilan agama, militer atau PTUN (lihat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009). Sedangkan secara relatif misalnya apakah kewenangan Pengadilan Negeri Tembilahan atau Pengadilan Negeri Rengat atau Pengadilan Pekanbaru (lihat Pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv).

Pasal 118 HIR berbunyi, tentang kompetensi relatif pengajuan gugatan, yaitu  :

  1. Diajukan di tempat kediaman tergugat yang terakhir yang sebenarnya apabila tidak diketahui tempat tinggalnya.
  2. Apabila tergugat lebih dari satu orang diajukan di tempat tinggal salah satunya sesuai pilihan penggugat.
  3. Satu tergugat sebagai yang berhutang dan satu lagi penjamin diajukan di tempat tinggal yang berhutang, apabila tempat tinggal tergugat (berhutang) dan tempat turut tergugat (penjamin) berbeda maka diajukan dimana tempat tinggal tergugat.
  4. Jika tidak dikenal tempat tinggal dan kediaman tergugat diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
  5. Jika objeknya benda tetap (tidak bergerak) diajukan di tempat benda tetap dan apabila ada beberapa benda tetap itu berada di beberapa wilayah hukum pengadilan, maka penggugat dibenarkan memilih salah satu pengadilan tersebut.
  6. Jika ditentukan dalam perjanjian (akta) ada tempat tinggal yang dipilih (domisili hukum) maka gugatan diajukan di tempat tinggal yang dipilih tersebut (pilihan domisili hukum), namun jika penggugat mau memilih berdasarkan tempat tinggal tergugat, maka gugatan juga dapat diajukan di tempat tinggal tergugat.

b. Eksepsi Prosesual di luar Eksepsi Kompetensi

Eksepsi ini terdiri dari berbagai bentuk atau jenis, yang penting dan sering digunakan dalam praktik yaitu :

1. Eksepsi surat kuasa tidak sah

a) Surat kuasanya bersifat umum, bukan surat kuasa khusus (bijzondere schriftelijke) sebagaimana diatur dalam Pasal 123 HIR.

b) Surat kuasanya tidak memenuhi syarat formil yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR, dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 1971 juncto  SEMA Nomor 6 Tahun 1994 yaitu ;

  • Secara spesifik kehendak untuk berpekara di Pengadilan Negeri tertentu sesuai dengan kompetensi relatif.
  • Identitas para pihak yang berpekara.
  • Menyebut secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek yang diperkarakan.
  • Mencantumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa.

Syarat ini bersifat komulatif, artinya salah satu saja tidak terpenuhi maka dapat disebut surat kuasa tidak dapat memenuhi syarat formil.

c.) Surat kuasa dibuat oleh yang tidak berwenang.

Kuasa ini misalnya ditanda tangani oleh Komisaris PT, yang seharus oleh Direksi  yang berhak mewakili PT baik ke dalam maupun keluar.

2. Eksepsi Error In Persona, hal ini meliputi :

a. Eksepsi diskualifikasi (gemis aanhoedanigheid) karena orang yang mengajukan gugatan bukan yang berhak  dan mempunyai kedudukan hukum untuk itu (legal standing), misalnya anak dibawah umur tidak berhak menjadi tergugat karena masih dibawah perwalian, Perseroan Terbatas  yang belum disahkan badan hukumnya belum boleh Direksinya mewakili.

b. Keliru pihak yang ditarik sebagai tergugat. Dalam hal ini tergugat yang ditarik sebagai pihak harus mempunyai hubungan hukum.

c. Eksepsi plurium litis consortium. Dalam hal ini adalah karena yang ditarik sebagai pihak penggugat dan terguat tidak lengkap.

3. Eksepsi res judicata atau ne bis in idem

Hal ini berkaitan, apabila suatu kasus perkara telah  pernah diajukan kepada pengadilan, dan telah di vonis berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka tidak dapat diajukan lagi untuk kedua kalinya (gugatan baru) atau memperkarakannya kembali.

4. Eksepsi obcuur libel (tidak jelas atau kabur)

Eksepsi ini berkaitan dengan surat gugatan pengguat tidak terang atau isi kabur atau tidak jelas. Dalam praktiknya disebut gugatan obcuur libel adalah :

a. Tidak jelasnya dasar hukum dalil gugatan atau posita.

Posita tidak menjelaskan dasar hukum dan kejadian atau peristiwa yang mendasari gugatan. Bisa saja  dasar hukum jelas tetapi tidak dijelaskan dasar fakta.

b. Tidak jelasnya objek sengketa.

Hal ini terjadi pada objek sengketanya mengenai  tanah, yaitu karena :

  • Batas-batasnya tidak jelas, khususnya tanah yang belum bersertifikat, apabila tanah yang sudah bersertifikat dengan menyebut nomor sertifkat dalam gugatan sudah dianggap telah menyebut letak, batas dan ukurannya.[8]
  • Letaknya tidak pasti, hal sama dengan penjelasan di atas yaitu khususnya tanah yang belum bersertipikat, apabila tanah yang sudah bersertipikat dengan menyebut nomor sertifkat dalam gugatan sudah dianggap telah menyebut letak.[9]
  • Ukuran yang disebut dalam gugatan berbeda dengan hasil pemeriksaan setempat. Hal ini terjadi misalnya dalam gugatan luas tanah  3.000 M2, setelah dilakukan pemeriksaan setempatnya ternyata 3.500 M2, maka dalam hal obcuur libel. Namun apabila ternyata 2.500 M2, maka tidak dianggap obcuur libel karena luasnya masih dalam lingkup luas tanah yang ada dalam  gugatan.
  • Tidak samanya batas dan luas tanah dengan dikuasai tergugat. Batas-batas dan luas tanah yang disebut dalam gugatan berbeda dengan yang dikuasai tergugat. Lihat putusan MA Nomor 81 K/Sip/1971 tanggal 9 Juli 1973.

c. Petitum gugat tidak jelas

  • Petitum tidak rinci baik pertitum primair maupun subsidair.
  • Kontradiksi antara posita dengan petitum atau saling bertentangan.

d. Masalah posita wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

  • Tidak dibenarkan mencampuradukkan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam gugatan.
  • Dianggap keliru merumuskan dalil PMH dalam gugatan jika yang terjadi in konkreto secara realisitis adalah wanprestasi.
  • Atau tidak tepat jika gugatan mendalilkan wanprestasi, sedang peristiwa hukum yang terjadi secara objektif ialah PMH.
  • Akan tetapi dimungkinkan menggabungkan atau mengkomulasikan keduanya dalam satu gugatan, dengan syarat harus tegas pemisahannya. Misalnya A dan B mengadakan perjanjian sewa menyewa secara tertulis yang  berakhir pada tanggal 1 Januari 2000. Dalam kasus tersebut bisa melekat wanprestasi dan PMH. Umpamanya A ingkar menyerahkan  objek sewaan kepada B 1 Januari, dan terus  menempatinya sampai 2003. Dalam kasus  tersebut, dapat digabung gugatan wanprestasi (tidak menyerahkan 1 Januari 2000 sampai 2003) dalam surat gugatan.

5. Eksepsi hukum materil : didasarkan kepada hukum perdata materil.

Bentuk eksepsi ini ada 2 yaitu :

a. Eksepsi tunda (dilatoir exceptie)

  • Gugatan penggugat belum diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan karena prematur atau belum saatnya diperiksa.
  • Adanya penundaan pembayaran utang yang disepekati. Contoh : eksepsi kerena penundaan pembayaran utang.

b. Eksepsi halang (peremptoir exceptie).

  • Masalahnya tidak dapat diperkarakan.
  • Utang sudah dibayar.
  • Hapusnya perjanjian (1381 KUHPerdata).

Contoh : eksepsi lampau waktu (daluarsa), eksepsi penghapusan utang, eksepsi perjanjian mengandung penipuan dan paksaan. Contoh lainnya dalam perkara gugat cerai karena pelanggaran ta’liq talak yang diajukan istri, dengan tuduhan suami selama tiga bulan tidak memberikan nafkah baginya, padahal suami tidak memberikan nafkah kurang dari  tiga bulan sebagaimana alasan yang dibuat istri sebagai penggugat.

G. REKONVENSI 

Dasar hukum Pasal 132a dan Pasal 132b HIR disisip dengan Staatsblad 1927-300, Pasal 157-158 R.Bg.  Gugatan Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugat balasan (gugat balik) terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya, sesuai dengan ketentuan pasal 132 a ayat (1) HIR. Berdasarkan Pasal 132 b HIR juncto Pasal 158 RBg, gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat. Tujuan dilakukannya gugatan rekonvensi untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:

  1. Menegakkan asas peradilan sederhana.
  2. Menghemat biaya perkara.
  3. Mempercepat penyelesaian sengketa.
  4. Mempermudah pemeriksaan.
  5. Menghindari putusan yang saling bertentangan.

Menurut Pasal 224 Rv Gugatan Rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan tergugat terhadap penggugat dalam satu proses perkara yang sedang berjalan.

Dalam hukum acara perdata, gugatan rekonvensi lebih dikenal dengan “gugat balik” karena penggugat juga ternyata melakukan wanprestasi kepada tergugat.[10]

Berdasarkan Pasal 132a HIR diatas, dalam proses  pemeriksaan gugatan perkara yang sedang berjalan:

  1. Diberi hak kepada tergugat mengajuakn gugatan rekonvensi sebagai gugatan balik atas gugatan penggugat, dan
  2. Gugatan rekonvensi tersebut dikumulasikan tergugat dengan gugatan konvensi penggugat.

Asas yang dipakai administrasi yudistial  dalam sistem kumulasi rekonvensi dengan gugatan konvensi adalah sebagai berikut:

  1. Nomor register gugatan rekonvensi menumpang dan menjadi satu dengan nomor register gugatan konvensi.
  2. Biaya panjar perkara gugatan rekonvensi dianggap dengan sendirinya menurut hukum telah melekat pada panjar gugatan konvensi.

Oleh karena Pasal 132a HIR tersebut sebagai ketentuan khusus yang memberikan sifat khusus  yakni sifat eksepsional (penerapan pengecualian dari ketentuan umum) dimana guagatan rekonvensi yang pada dasarnya merupakan gugatan yang berdiri sendiri, namun apabila di kumulasikan dengan gugatan konvensi, seolah-olah sifat itu dilebur dan administrasi yustisialnya ditumpangkan dan diletakkan dalam gugatan konvensi.

Kumulasi gugatan konvensi dan rekonvensi yang digabung  dalam satu pemeriksaan itu adalah dua gugatan yang masingmasing berdiri sendiri dan diajukan oleh pihak yang berbeda. Dari banyak pernyataan diatas, jelaslah bahwa gugatan rekonvensi merupakan hak eksepsional yang diberikan oleh undang-undang  kepada tergugat.

Menurut M. Yahya Harahap, gugatan rekonvensi atau gugatan balik memiliki beberapa tujuan, yakni :

  1. Menegakkan asas peradilan sederhana

Sistem yang menyatukan pemeriksaan dan putusan  dalam satu proses, sangat menyederhanakan penyelesaian perkara. Dalam pasal 132a HIR dikatakan bahwa  gugatan rekonvensi diperiksa bersama-sama dengan gugatan konvensi. Oleh karena itu Penggabungan gugatan konvensi dengan rekonvensi sesuai dengan  asas peradilan  sederhana sesuai Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

  1. Menghemat biaya dan waktu

 Sudah sangat jelas kiranya bahwa gugatan konveni dan  rekonvensi yang mendapat sifat khusus yakni dapat digabungkan pelaksanaanya baik pemeriksaan dan putusan akan menghemat waktu, anggaran dan juga tenaga.

Tujuan lain gugatan rekonvensi adalah:

  1. Menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan.
  2. Mempermudah prosedur.
  3. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
  4. Menetralisir tuntutan konvensi.
  5. Acara pembuktian dapat disederhanakan.
  6. Menghemat biaya.

Mengenai syarat materiil gugatan rekonvensi, undang- undang tidak secara jelas mengatur mengenai syarat gugatan  materiil. Pasal 132a HIR hanya menjelaskan bahwa gugatan rekonvensi merupakan hak yang dimilki oleh tergugat dan tidak ada syarat antara keduanya harus memiliki hubungan yang erat atau koneksitas substantial. Begitu juga dikatakan oleh Soepomo bahwa “ tuntutan rekonvensi berdiri sendiri (zelfstanding), karenanya oleh tergugat dapat diajukan kepada hakim didalam proses tersendiri, menurut acara biasa. Oleh karena dapat diajukan tersendiri, tidak diperlukan syarat koneksitas antara konvensi dan rekonvensi . menurut hukum tidak ada dasar dan alasan yang kuat

Bahwa antara gugatan  konvensi dan gugatan rekonvensi harus ada koneksitas. Akan tetapi, praktik peradilan yang nyata terjadi di Indonesia cenderung menerapkan adanya koneksitas sebagai syarat materiil gugatan rekonvensi. Oleh karena itu, gugatan rekonvensi baru dianggap sah dan dapat diterima dan dapat diakumulasikan dengan guagatan konvensi jika memenuhi syarat:

  1. Adanya faktor pertautan hubungan mengenai dasar hukum dan kejadian yang relevan antara gugatan konvensi dan gugatan rekonvensi.
  2. Hubungan pertautan itu harus sangat erat, sehingga penyelesaianya dapat dilakuakan secara efektif dalam suatu proses dan putusan.

Alasan dari harus adanya faktor koneksitas itu dilandasi dengan tujuan pokok system rekonvensi yakni untuk menyederhanakan proses serta untuk mengehemat biaya dan waktu. Agar tujuan dari rekonvensi tidak menyimpang maka  sedapat mungkin gugatan rekonvensi mempunyai koneksitas  yang substansial dan relevan dengan gugatan rekonvensi. Prinsip itu tidak boleh mengurangi hak tergugat untuk mengajukan  gugatan rekonvensi yang bersifat berdiri sendiri yang benar-benar melepas kaitanya dengan gugatan konvensi.

Gugatan rekonvensi  mesti memenuhi syarat formil gugatan, yaitu:

  1. Dengan tegas subjektif yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi.
  2. Merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum dan dasar peristiwa yang melandasi gugatan.
  3. Menyebut dengan rinci petitum gugatan.

Syarat-syarat diatas disebut dengan syarat formil. Dalam  Putusan MA No. 1154 K/Sip/1973 dikatakan bahwa apabila syarat formil dalam gugatan rekonvensi tidak ada, maka dianggap gugatan tersebut tidak sungguh-sungguh sehingga gugatan rekonvensi dapat di tolak.

Pihak yang ditarik dalam gugatan rekonvensi adalah penggugat konvensi. Untuk memenuhi syarat formil maka tergugat harus ditulis jelas dalam surat gugatan. Gugatan rekonvensi merupakan hak yang diberikan kepada tergugat melawan konvensi sehingga yang dapat ditarik sebagai tergugat hanya penggugat konvensi. Akan tetapi, jika penggugat konvensi terdiri lebih dari satu orang, maka tidak harus menggugat semua pihak penggugat konvensi untuk menjadi tergugat rekonvensi.  Pedoman yang digunakan adalah:

  1. Jika gugatan rekonvensi erat kaitanya degan gugatan konvensi, maka sebaiknya seluruh pengguhat konvensi ditarik seluruhnya menjadi tergugat rekonvensi. Hal ini untuk menghindari adanya cacat formil yakni kurang pihak yang ditarik sebagai tergugat.
  2. Jika gugatan rekonvensi tidak erat kaitanya dengan gugatan konvensi maka tidak perlu menarik semua pihak untuk dijadikan tergugat rekonvensi.

Putusan MA No. 636 K/Pdt/ 1984 menyatakan bahwa sesama tergugat konvensi tidak dapat ditarik menjadi tergugat dalam gugatan rekonvensi. Gugatan semacam itu menurut MA adalah gugatan yang tidak dibenarkan oleh hukum acara, sebab gugatan rekonvensi hanya dapat di ajukan kepada penggugat konvensi yang menempatkannya dalam kedudukan sebagai tergugat konvensi. Jika terdapat kasus ditariknya tergugat konvensi sebagai tergugat rekonvensi maka gugatan tersebut dapat di tolak.

Waktu pengajuan gugatan rekonvemsi diajukan bersamacdengan jawaban sesuai dengan bunyi Pasal 132b ayat (1) HIR  bahwa “Tergugat wajib mengajukan gugatan melawan bersama-sama dengan jawabanya baik dengan surat maupun dengan lisan”. Oleh karena itu, gugatan rekonvensi harus diajukan bersama dengan jawaban, sehingga jika ada gugatan rekonvensi  yang diajukan tidak bersama jawaban gugatan tersebut dapat ditolak atau dianggap tidak sah.

Pasal 132b ayat (1) HIR diatas menimbulkan banyak penafsiran mengenai kata ”jawaban” yang dimaksud dalam pasal tersebut karena erat kaitanya dengan waktu pengajuan gugatan rekonvensi.  Pendapat pertama menafsirkan kata jawaban bermkana jawaban  pertama, sehingga gugatan rekonvensi harus diajukan bersamasama dengan jawaban pertama dengan alasan membolehkan penggugat rekonvensi memberikan gugatan rekonvensinya diluar jawaban pertama dapat menimbulkan kerugian bagi pihak penggugat dalam membela hak dan kepentinganya juga mengakibatkan pemeriksaan perkara dan penyelesaian tidak lancar dan agar penggugat rekonvensi tidak sewenang-wenang dalam menggunakan hak mengajukan gugatna rekonvensinya.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa gugatan rekoonvensi boleh diajukan sampai tahap pembuktian. Hal ini berdasarkan Pasal 132b ayat (1) itu sendiri bahwa dalam ayat tersebut tidak ada kata jawaban pertama sehingga dapat disimpulkan gugatan rekonvensi dapat diajukan sewaktu-waktu sampai pada tahap pembuktian.

Sebagian besar peradilan di Indonesia sudah menerapkan  pendapat yang pertama yakni gugatan rekonvensi di ajukan bersama dengan jawaban pertama sehingga dalam jawaban pertama terdapat eksepsi, bantahan dan juga gugatan rekonvensi.

Namun ada juga yang masih menggunakan pendapat kedua yakni gugatan rekonvensi diajukan dalam duplik terhadap Replik. Dengan adanya penggarisan oleh MA dalam Putusan MA Nomor 239K/Sip/1968 yang menegaskan gugatan rekonvensi dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum pemeriksaan pembuktian mengakibatkan gugatan tersebut tetap diterima.

Larangan mengajukan gugatan rekonvensi, yaitu :

1. Dilarang mengajukan gugatan rekonvensi kepada seseorang yang bertindak berdasarkan kualitas.

Salah satu gugatan rekonvensi yang tidak diperbolehkan adalah gugatan rekonvensi yang menggugat sesorang yang sedang mewakili kepentingan principal seperti kuasa hukum atas pemberi kuasa, atau ayah/wali atas anak yang diwakilinya. Contoh kasusnya adalah sebagai berikut: Dalam gugatan konvensi, Akbar menggugat Budi untuk melunasi pembayaran tanah yang sudah jatuh tempo. Dalam persidangan Akbar memberikan kuasanya kepada Candra selaku pengacara, sehingga Candra sebagai kuasa atas Akbar. Ternyata Candra juga memilki hutang kepada Budi. Dalam acara persidangan itu ketika masih dalam jawab menjawab/ sebelum pembuktian Budi dilarang menggugat balik(menggugat rekonvensi) terhadap candra, meskipun Candra melaukan wanprestasi kepada Budi. Karena Peran Candra hanya sebatas wakil/ kuasa dari Akbar. Jika Budi ingin menyelesaikan  permasalahannya dengan Candra maka harus di ajukan dalam gugatan perdata biasa.

2. Larangan mengajukan Gugatan rekonvensi yang melanggar kompetensi yuridiksi Pengadilan Negeri yang mengadili perkara

Sebagaimana diketaui ada dua kompetensi. Kompetensi relatif dan Kompetensi Absolut. Jika kompetensi relative dilanggar,  misalnya Agung  menggugat Bono di Pengadilan Negeri Salatiga  untuk pelunasan sebuah mobil. Sedangkan Bono menggugat rekonvensi Agung atas  sangketa hak milik tanah yang berada di Magelang, maka diperbolehkan meskipun hal ini melanggar kompetensi Relatif. Karena seharusnya Bono menggugat Agung  atas hak milik tanah itu di Pengadilan Negeri tempat tanah berada  yakni di Pengadilan Negeri Magelang.

Perlu harus mengingat salah satu asas peradilan yang efektif  dan efisien, sehingga karena asas itulah tindakan gugatan rekonvensi yang melanggar kewenangan relatif dibenarkan. Akan tetapi, gugatan Rekonvensi yang melanggar kompetensi absolut tidaklah dibenarkan. Contoh kasusnya adalah Dudung menggugat Eko dalam perkara transaksi jual beli tanah di Pengadilan Negri Salatiga. Eko lalu menggugat rekonvensi Dudung atas sangketa hibah. Hal ini tidak di benarkan karena sangketa hibah adalah kompetensi Pengadilan Agama dan bukan Pengadilan Negri. Hal ini sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Bahwa sangketa hibah untuk umat Islam merupakan kompetensi absolut Pengadilan Agama.

3. Larangan mengajukan rekonvensi di tingkat banding dan kasasi

Dalam pasal 132a ayat (2) HIR dikatan bahwa jika tidak diajukan gugatan rekonvensi pada tingkat pertama yakni di Pengadilan Negeri, tidak dapat diajuakn di tingkat banding di Pengadilan Tinggi sehingga kesempatan untuk mengajukan gugatan rekonvensi hanya sebatas pada pengadilan tingkat pertama saja. akan tetapi jika gugatan rekonvensi sudah diajukan di tingkat pertama, maka  gugatan tersebut dapat dibawa ke tingkat banding.

Sama halnya di tingkat banding, pada tingkat kasasi juga tidak bisa di ajukan gugatan rekonvensi, karena Mahkamah Agung sebagai peradilan kasasi tidak berwenang memeriksa dan menilai permasalahan fakta. Ketika tergugat konvensi lalai untuk  melakukan gugatan rekonvensi pada tingkat pertama maka harus  mengajukan gugatan perdata biasa yang berdiri sendiri kepada Pengadilan Tingkat Pertama/Pengadilan Negeri.

Hasil putusan ini akan melahirkan putusan konvensi dan putusan rekonvensi. Bedanya dengan cara yang pertama adalah, cara pertama melahirkan satu putusan, cara kedua ini melahirkan dua putusan, putusan konvensi dan putusan rekonvensi, keduanya boleh diajukan banding sendiri-sendiri.

Dapat berupa jawaban tergugat tapi dapat juga dilakukan dalam Duplik. Batas waktunya sebelum proses pembuktian. Rekonvensi dapat diajukan baik yang ada koneksitas maupun tidak. Jika ada koneksitas dapat diperiksa sekaligus/bersama-sama. Jika tidak ada koneksitas dapat diperiksa satu-satu/dipisah. Rekonvensi tidak dapat diajukan dalam hal :

  1. Jika kedudukkan penggugat tidak dalam kualitas yang sama antara gugatan konvensi dengan rekonvensi.
  2. Rekonvensi tidak dalam kompentensi yang sama.
  3. Rekonvensi tentang pelaksanaan putusan hakim.

H. INTERVENSI  (Pihak Ketiga dalam Proses Perkara)

Mengenai intervensi diatur dalam Pasal 279 – 282 BRv. Intervensi adalah masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung bila dia juga mempunyai kepentingan (interest). Intervensi bentuknya sebagai berikut :

  1. Voeging (menyertai) adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat.  Dalam hal ada permohonan voeging, Hakim member kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, kemudian dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan, maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.
  2. Tussenkomst (menengahi), tidak memihak, berdiri sendiri adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara tersebut, berdasarkan alasan ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan karena pihak ketiga yang merasa bahwa barang miliknya disengketakan /diperebutkan oleh Penggugat dan Kemudian permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan Putusan Sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang  diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi. Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi harus bersama-sama dengan perkara pokok. Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya permohonan banding dari intervenient (pihak intervensi) tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri. Apabila permohonan dikabulkan,  maka putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabungkan permohonan intervensi ke dalam perkara pokok.
  3. Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin/penanggungan) adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan Tergugat dari tanggung jawab kepada Penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis. Setelah ada permohonan vrijwaring, Hakim member kesempatan para pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut. Intervensi ini adalah :

a. Mirip tapi tidak sama dengan intervensi karena insiatifnya tidak dari pihak ketiga yang bersangkutan.

b. Ikutsertanya karena diminta sebagai penjamin/pembebas oleh salah satu pihak yang berperkara.

  1. Exceptio Plurium Litis Consortium

a. Masuknya pihak ketiga karena ditarik oleh salah satu pihak yang berperkara.

b. Dilakukan karena pihak tersebut untuk melengkapi  pihak, agar gugatan tidak dinyatakan oleh hakim gugatan tidak dapat diterima dengan alasan para pihak tidak lengkap. Contoh dalam perkara warisan masih ada pihak tergugat yang tidak ikutkan dalam gugatan.

I. REPLIK

Replik adalah jawaban/tanggapan  penggugat atas jawaban tergugat.  Replik adalah jawaban/tanggapan  penggugat atas jawaban tergugat. Dapat diajukan lisan atau tulisan. Replik diajukan oleh penggugat untuk meneguhkan atau memperkuat dalil-dalil gugatannya tersebut, dengan cara mematahkan berbagai alasan dalam penolakan yang dikemukakan tergugat di dalam jawabannya. Replik merupakan lanjutan dari suatu pemeriksaan dalam perkara perdata di dalam pengadilan setelah tergugat mengajukan jawabannya.

Replik ini berasal dari 2 (dua) kata yakni re (kembali) dan pliek (menjawab), jadi dapat kita simpulkan bahwa replik berarti kembali menjawab. Menurut JTC Simoramgkir,  Replik ialah jawaban balasan  atas jawaban tergugat di dalam perkara perdata. Sebagaimana juga halnya jawaban, maka replik itu juga tidak diatur dalam HIR/RBg,  akan tetapi di dalam Pasal 142 Reglemen Acara Perdata (Reglement op Rechtsverordering), staatsblad 1847-52 jo 1849-63.[11]

Replik itu biasanya berisi dalil-dalil atau hak-hak tambahan guna dalam menguatkan dalil-dalil gugatan si penggugat. Penggugat di dalam replik ini juga dapat mengemukakan sumber-sumber pendapat para ahli, kepustakaan, kebiasaan, doktrin, dan sebagainya. Peranan yurisprudensi sangat penting dalam replik, mengingat kedudukannya adalah salah satu dari sumber hukum.[12] Untuk itu dalam hal penyusunan replik biasanya cukup sekiranya dengan cara mengikuti poin-poin jawaban pihak tergugat. Dalam Replik Penggugat dapat mengajukan hal-hal baru untuk  menguatkan  dalil  gugatannya. [13]

Replik harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas dalam jawaban tergugat. Oleh sebab itu, replik ialah respons atau tanggapan tergugat atas suatu jawaban yang diajukan tergugat. Bahkan juga tidak tertutup kemungkinan membuka peluang kepada penggugat agar mengajukan re-replik, walaupun re-replik ini jarang terjadi mengingat menghemat waktu. Namun jika para pihak berkeinginan tetap diperkenankan karena pada asas hukumnya hakim harus mendengar kedua belah pihak.

Replik Penggugat ini dapat berisi pembenaran terhadap suatu jawaban tergugat atau juga boleh jadi penggugat menambahkan keterangan dengan maksud untuk memperjelas dalil yang  diajukan penggugat di dalam gugatannya tersebut.[14]

Biasanya dalam proses peadilan perdata, jawaban tergugat selain memuat dalil-dalil bantahan terhadap pokok perkara, juga termuat eksepsi dan dapat pula memuat gugatan balik  (rekonvensi). Oleh karena itu, sebelum menyusun replik, pihak penggugat perlu memperhatikan struktur jawaban dari Tergugat atas gugatan. Artinya struktur replik tergantung dari isi dan susunan jawaban Tergugat. Dalam konteks ini hukum acara perdata tidak menentukan secara limitatif bagaimana bentuk, susunan dan isi replik.

Menurut penulis dalam praktiknya replik disusun tergantung pada jawaban tergugat, misalnya jika tergugat dalam jawabannya ada eksepsi dan rekonvensi, maka replik harus juga ada jawaban atau tanggapan terhadap eksepsi dan rekonvensi (gugatan balas) tersebut. Jika hal demikian, praktiknya sistematika repliknya adalah :

  • Dalam Eksepsi (berisi tanggapan/jawaban terhadap eksepsi tergugat).
  • Dalam Konvensi (berisi tanggapan/jawaban terhadap pokok perkara)
  • Dalam Rekonvensi (berisi tanggapan/jawaban terhadap rekonvensi/gugatan balas tergugat).

Dalam menyusun replik  diperlukan suatu kecermatan dan dengan mengingat orientasi dari replik sesuai dengan jenis perkara dan hukum acaranya. Dalam konteks ini, maka setidaknya sebelum menyusun replik hal yang harus dipahami adalah replik dalam perkara perdata yang diajukan dan disusun penggugat berkaitan dengan jawaban tergugat atas gugatan, dimana jawaban tergugat selain berisikan eksepsi juga  berisikan bantahan-bantahan terhadap pokok perkara. Replik  penggugat adalah dalil-dalil yang menguatkan atau meneguhkan dalil-dalil gugatan yang dibantah oleh tergugat dalam jawabannya. Meskipun demikian dalil-dalil replik yang berisikan dalil-dalil meneguhkan gugatan, namun dalil-dalil dalam replik pada gilirannya akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan proses pembuktian dalam pemeriksaan pokok perkara.

Hal di atas menunjukkan bahwa ada titik tolak dalam menyusun replik. Artinya secara teoritis tidak ada teori yang mengajarkan bagaimana teknik menyusun replik. Bahkan mengenai bentuk dan susunannya pun tidak juga diatur dalam hukum acara. Karena itu, penyusunan replik selain pada materi pokok dari perkaranya. Selain itu tergantung pula pada kemampuan dan penguasaan materi permasalahan dari perkara dari pihak-pihak yang berperkara.

Untuk menyusun replik, biasanya dalam proses peadilan  perdata, jawaban tergugat selain memuat dalil-dalil bantahan terhadap pokok perkara, juga termuat eksepsi dan dapat pula memuat gugatan balik (rekonvensi). Karena itu sebelum menyusun replik, pihak penggugat perlu memperhatikan struktur jawaban dari Tergugat atas gugatan. Artinya struktur replik tergantung dari isi dan susunan jawaban Tergugat. Dalam konteks ini hukum acara perdata tidak menentukan secara limitatif bagaimana bentuk, susunan dan isi replik. Replik merupakan pemberian hak kepada penggugat untuk menanggapi jawaban yang diajukan tergugat dan hal itu sejalan dengan asas audi alteram partern.

Dalam jawaban tergugat selain memuat bantahan terhadap  pokok perkara juga memuat eksepsi dan gugatan balik. Dalam konteks ini, maka :[15]

  1. Penggugat dalam menyusun replik selayaknya harus menguasai hal-hal yang terkait dengan eksepsi.
  2. Penggugat dalam menyusun replik harus mempertimbangkan dengan cermat isi gugatan balik dari tergugat. Pada tataran menanggapi gugatan balik, maka pennggugat mau tidak mau memuat juga jawaban atas gugatan balik dari Tergugat dan jawaban tersebut termuat dalam replik.
  3. Penggugat dalam menyusun replik harus senantiasa mempertimbangkan ada atau tidak adanya alat bukti dari dalil-dalilnya dalam duplik sebagai peneguhan atas gugatanya dan dalil-dalil bantahan atas gugatan balik dari dari Tergugat. Hal ini menjadi penting artinya dalam menyusun replik karena apabla dalil-dalil yang dituangkan dalam replik hanya berupa “dalil-dalil kosong” maka replik yang disusun melemahkan gugatan Demikain juga dengan dalil-dalil terkait gugatan balik, selain selalu diperhatikan singkronisasinya dengan dalil gugatan, juga harus dipertimbangkan alat bukti yang akan memperkuat dalil-dalil jawaban atas bantahan terhadap gugatan balik.
  4. Penggugat dalam menyusun replik lazimnya selalu memuat permintaan pada majelis hakim untuk mengabulkan tuntutan dalam gugatan Penting artinya memahami dan mencermati beberapa hal yang dikemukakan di atas, karena kebanyakan pembicaraan mengenai replik seringkali dipahami sebagai istrumen hukum acara untuk menyanggah atau menolak atas sebagian atau seluruhnya dalil-dalil tergugat yang dikemukakan dalam jawaban.

Dalam replik biasanya akan dimasukkan dalil-dalil yang merupakan sanggahan atau penolakan atas sebagian atau seluruh dalil-dalil Tergugat dalam jawabannya. Sebenarnya replik tidak selalu terkoptasi dalam pandangan serupa itu, karena :[16]

  1. Pertama, dalam replik tidak hanya berisi dalil-dalil sanggahan atau penolakan saja, tetapi bisa berupa penguraian lebih rinci dari dalil-dalil yang telah diuraikan dalam gugatan.
  2. Dalil-dalil dalam replik boleh saja menambahkan pendapat ahli (doktrin hukum) dan yurisprudensi, namun muara dari dalil-dalil tersebut adalah pada alat bukti, sehingga dalil-dalil bantahan, penolakan yang diperkuat dengan doktrin dan yurisprudensi harus berujung pada ada alat bukti kelak yang dihadirkan dalam pemeriksaan pokok perkara.
  3. Dalam menyusun dalil-dalil dalam replik haruslah dihindarkan minsed apa-apa yang dikemukakan tergugat dipengaruhi sikap penolakan mutlak, karena ada kemungkinan dalil-dalil yang dikemukakan Tergugat dalam jawabannya justeru memberikan titik terang dari apa yang didalilkan penggugat, bisa jadi juga dalil-dalil yang dikemukakan tergugat memberi penguatan bagi gugatan penggugat. Artinya dalam menyusun  replik pihak penggugat harus bersikap dan berfikir  objektif, rasional dan tidak emosional, sehingga uraian-uraian dalam replik tidak ditanggapi sebagai dalil yang mengada-ada. Kebiasaan atau biasa ada kecenderungan penggugat dihinggapi penyakit “main tolak” terhadap dalil-dalil tergugat dalam jawabannya.
  4. Apabila pada jawaban tergugat termuat eksepsi, maka dalam menyusun replik pihak penggugat haruslah cermat, karena biasanya tergugat menggunakan dalil “apa-apa yang termuat dalam eksepsi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pokok perkara”. Oleh arena itu dibutuhkan relevansi dan singkronisasi penyusunan dalil dalam menanggapi eksepsi dengan dalil pokok perkara. Demikian juga dalil-dalil replik, jika jawaban Tergugat memuat gugatan balik.
  5. Sekalipun pada tahap replik pemeriksaan perkara baru sebatas jawab menjawab atau bantahan membantah, akan tetapi untuk beberapa dalil tertentu penggugat bisa mengajukan bukti-bukti pendukung, seperti terkait dengan adanya permintaan sita jaminan dalam gugatan atau hal-hal yang bisa menyebabkan pemeriksaan perkara dihentikan karena eksepsi kewenangan mengadili yang diajukan tergugat diterima majelis hakim, misalnya karena daluarsa atau karena ne bis in idem, dan lain sebagainya.

J. DUPLIK 

Duplik berasal dari 2 (dua) kata yaitu du (dua) dan pliek (jawaban), jadi berarti jawaban kedua. Duplik adalah jawaban tergugat terhadap replik penggugat. Sama juga halnya dengan replik. Duplik ini juga dapat diajukan baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk lisan. Duplik ini diajukan oleh tergugat untuk menguatkan jawaban tergugatnya, yang pada lazimnya berisi suatu penolakan terhadap suat gugatan pihak penggugat.[17] Apabila dalam acara jawab menjawab diantara pihak penggugat dan pihak tergugat sudah dinyatakan cukup, dimana dalam duduk perkara perdata yang telah diperiksa sudah jelas keseluruhannya, tahapan pemeriksaan berikutnya ialah tahapan pembuktian. Walaupun sebenarnya masih kemungkinan membuka peluang kepada penggugat untuk mengajukan re-replik, dan tergugat mengajukan re-duplik  namun jarang terjadi mengingat menghemat waktu. Jika para pihak berkeinginan tetap diperkenankan karena pada asas hukumnya hakim harus mendengar kedua belah pihak.

K. PEMBUKTIAN

Pembuktian dalam perkara perdata gugatan, dalam praktiknya dilakukan setelah para pihak selesai jawab menjawab yaitu setelah Duplik Tergugat terhadap Replik Penggugat.

Dalam jawab menjawab di muka sidang pengadilan, pihak-pihak yang berperkara dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan dasar untuk meneguhkan hak perdatanya ataupun untuk membantah hak perdata pihak lain atau lawan. Peristiwa-peristiwa tersebut sudah barang tentu tidak cukup hanya dikemukakan begitu saja, baik secara tertulis maupun lisan, namun harus diiringi atau disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu harus disertai pembuktian secara yuridis. Untuk itu, hukum pembuktian harus dikuasai oleh para pihak ketika berperkara di pengadilan.

Pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolut (ultimate truth), tetapi bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk mencari kebenaran yang demikian pun, tetap menghadapi kesulitan. Pembuktiannya adalah kebenaran formil mengutamakan alat bukti surat.

Riduan Syahrani, berpendapat pembuktian adalah proses menyajikan alat-alat bukti yang sah kepada majelis hakim guna memberikan kepastian akan kebenaran suatu peristiwa.

Siapa yang diberikan beban pembuktian (bewijstlast/burden of proof) di persidangan dalam perkara perdata ? Apakah kepada penggugat atau kepada tergugat ?

Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg atau Pasal 1865 KUHPerdata, yang berbunyi bahwa :

“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.

Pasal 163 HIR, yang berbunyi  bahwa :

“Barangsiapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.

Inti pokok dari pasal-pasal di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

  • Siapa yang mengatakan mempunyai hak atau mengemukakan suatu peristiwa untuk menguatkan hak tersebut, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan haknya itu;
  • Sebaliknya, siapa yang membantah hak orang lain, maka kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan bantahan tersebut.

Menurut Pasal 164 HIR / 284 RBg, dan 1866 KUHPerdata, ada 5 alat bukti yaitu :

  1. Bukti tulisan/surat
  2. Saksi
  3. Persangkaan
  4. Pengakuan
  5. Sumpah

Di luar Pasal 164 HIR/284 R.Bg :

  1. Keterangan ahli.
  2. Pemeriksaan di tempat.

Kekuatan Bukti dari Alat-Alat Bukti

Alat-alat bukti yang disebutkan di atas yaitu alat bukti surat, keternagan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah mempunyai kekuatan masing-masing di persidangan sebagai berikut ;

1. Bukti mengikat dan menentukan atau memaksa , artinya :

  • Satu alat bukti cukup bagi hakim menjatuhkan putusan.
  • Hakim terikat dengan alat bukti tersebut  dan
  • Tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan/sebaliknya. Contoh alat bukti ini: sumpah pemutus, pengakuan.

Misalnya alat bukti sumpah pemutus (beslissende eed) atau decisoire eed yang disebut Pasal 1929 KUHPerdata, Pasal 155 HIR, dinyatakan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan menentukan. Oleh karena itu, terhadapnya tidak dapat diajukan bukti lawan, dan kekuatannya tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti mana pun.

Untuk alat bukti pengakuan diatur dalam Pasal 164 HIR / 284 RBg sebagai alat bukti juga mengikat dan menentukan seperti alat bukti sumpah pemutus, maka juga tidak dapat dilumpuhkan oleh pihak lawan, sehingga baik bukti sumpah pemutus maupun bukti pengakuan dapat menjadi dasar menjatuhkan putusan oleh hakim, maka perkarapun dapat diakhiri.

2. Bukti sempurna, artinya :

  • Satu alat bukti cukup bagi hakim menjatuhkan putusan.
  • Hakim terikat dengan bukti tersebut, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
  • Dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.

Contoh alat bukti ini : akta otentik, dll

Menurut hari sasangka, bukti sempurna adalah bukti yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan telah sempurna, artinya tidak perlu lagi melengkapi dengan alat bukti lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan diajukan dengan bukti sangkalan/bantahan  (tengen bewijs). Jadi dengan bukti sempurna yang diajukan tersebut, memberikan kepada hakim kepastian yang cukup, akan tetapi masih dapat dijatuhkan atau dilumpuhkan oleh bukti sangkalan. Dengan demikian, bukti sempurna mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan penggugat benar dan harus diterima kecuali tergugat dengan bukti sangkalannya (tengen bewijs) berhasil mengemukakan alat bukti yang berdaya bukti cukup guna menyangkal apa yang dianggap oleh hakim telah benar.

Prinsip kekuatan alat bukti ini adalah alat bukti yang dapat dibantah oleh pihak lawan, misalnya akta otentik mempunyai kekuatan bukti sempurna dapat dibantah dengan bukti lawan. Pendapat itu dikemukakan pada Putusan MA Nomor 3360K/Sip/1983. Antara lain dikatakan  bahwa memang benar berdasar Pasal 1870 KUHPerdata atau Pasal 314 RBg, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah sempurna. Akan tetapi hal itu melekat sepanjang tidak ada diajukan bukti lawan oleh pihak lawan. Oleh karena itu, kesempurnaannya tidak bersifat menentukan atau memaksa. Kesempurnaannya dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.  Perhatikan juga Putusan MA Nomor 630K/Pdt/I984.  Menurut putusan ini, dengan adanya fakta pembayaran bunga, maka esensi persetujuan yang dituangkan dalam akta notaris (No. 43) tetap merupakan perjanjian pinjam uang dengan rumah/tanah terperkara sebagai jaminan, bukan jual beli rumah /tanah tersebut. Memang benar ditinjau dari segi formil, akta otentik memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende bewijs kracht).  Akan tetapi kekuatan pembuktian itu, tidak menentukan (dwingende bewijs kracht). Dengan demikian akta otentik itu dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan. Dalam kasus itu, tergugat telah melumpuhkannya dengan bukti lawan berupa surat bukti pelunasan utang (T2) dan juga pembayaran bunga (T4-T8).

3. Bukti permulaan, artinya :

  • Alat bukti sah tetapi belum memenuhi syarat formil sebagai bukti yang cukup.
  • Memerlukan alat bukti lain agar menjadi sempurna.
  • Hakim bebas dan tidak terikat dengan alat bukti ini.
  • Dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.

Contoh alat bukti ini : akta di bawah tangan, dll

Sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan bukti permulaan,  maka akta bawah tangan keterangan saksi dapat dibantah pihak lawan dengan alat bukti yang sama maupun dengan jenis alat bukti lain. Agar dapat sempurna, maka perlu didukung alat uktilainnya

4. Bukti bebas, artinya :

  • Hakim bebas menilai sesuai dengan pertimbangannya yang logis.
  • Hakim tidak terikat dengan alat bukti tersebut.
  • Terserah kepada hakim untuk menilainya.
  • Hakim dapat mengeyampingkan alat bukti ini.
  • Dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.

Contoh alat bukti ini : saksi ahli, pengakuan di luar sumpah, dll

5. Bukti bukan bukti, artinya:

  • Tidak memenuhi syarat formal sebagi alat bukti yang sah.
  • Tidak mempunyai kekuatan pembuktian
  • Tampak seperti alat bukti tapi bukan bukti. Contoh : saksi yang tidak disumpah, foto-foto, rekaman kaset/video, dll

L. PEMERIKSAAN SETEMPAT (plaatselijk onderzoek / descente)

Dasar hukum : Pasal 153 HIR, Pasal 180 R.Bg. Pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.

Sudikno Mertukusumo, mengatakan bahwa tujuan permiksaan setempat adalah  memperoleh kepastian akan kebenaran peristiwa yang menjadi sengketa, sedangka M. Yahya Harahap mengatakan untuk mengetahu dengan jelas dan pasti letak, luas dan batas objek barang terpekara (tanah) atau untuk mengetahui dengan jelas dan pasti mengenai kuantitas  dan kualitas barang sengketa, jika objek barang sengketa merupakan barang yang dapat diukur jumlah dan kualitasnya.

Mengenai pemeriksaan setempat ditemukan juga pada surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat tanggal 15 Nopember 2001 disebutkan bahwa sering terjadi dalam praktik peradilan,pada saat putusan hendak dieksekusi, objek perkara tidak jelas, sehingga pelaksanaannaya harus dinyatakan non executable yaitu eksekusi tidak dapat dijalankan karena objek barang yang hendak dieksekusi tidak jelas dan tidak pasti, mislanya letak, ukuran dan batasnya tidak jelas, untuk itu menurut SEMA tersebut untuk menghindari non executable dalam menjalankan putusan pengadilan, sebaiak pengadilan mengadakan pemeriksaan setempat berdasarkan Pasal 153 HIR, Pasal 180 R.Bg apabila mengenai objek sengketa terdiri dari tanah, jika dilakukan pengkuran setiap batas dan membuat gambar situasi tanah (lihat juga ptusan MA No. 3537 K/Pdt/1984 tanggal 3-2-1986.

Pasal 153 ayat (1) HIR mengatakan bahwa :

”Apabila ketua menganggap perlu dapat mengangkat seorang atau atau dua orang komisaris dari majelis yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan setempat dan melakukan pemeriksaan yang dapat memberi keterangan kepada hakim (Pasal 189 R.Bg, 211 Rv)”

Ayat (2) ”Panitera pengadilan hendaklah membuat berita acara tentang pekerjaan itu hasilnya, berita acara itu harus ditandatangani oleh komisaris dan panitera pengadilan itu.

Dalam praktik pemeriksaan setempat dilakukan sendiri oleh Hakim Ketua persidangan. Hal ini biasanya dilakukan terhadap objek perkara benda tetap seperti gedung dan tanah.

M. KESIMPULAN (Konklusi)

Setelah selesai pembuktian dan pemeriksaan setempat, maka para pihak oleh hakim pada persidangan berikutnya agar membuat dan menyerahkan kesimpulan (tidak wajib) boleh lisan maupun tulisan.

Kesimpulan yang dibuat oleh para pihak tentunya didasarkan pada fakta-fakta yang terbukti selama proses persidangan termasuk fakta hasil pemeriksaan setempat.

N. PUTUSAN HAKIM (VONNIS)

Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan selesai, serta tidak ada hal-hal yang akan dikemukakan para pihak baik penggugat maupun tergugat, maka selanjutnya adalah hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut. Melalui putusan hakim adakan diperoleh kepastian dan keadilan yang diharapkan.

Menurut Sudikno Mertukusmo, Arti putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri dan menyelesaikan perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan.

Selanjutnya menurut Ridwan Syahrani, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untumenyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.

Isi minimum dan sistematik surat putusan adalah diatur dalam Pasa 178, 182, 183, 184, dan 185. Pasal 178 HIR menentukan bahawa:

  • Hakim dalam waktu musyawarah karena jabatannya, harus mencakup alasan-alasan hukum yang mngkin tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
  • Hakim wajib mengadili segala bagian gugatan.
  • Hakim dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau meluluskan melibihi apa yang digugat.

Susunan dan isi putusan :

  1. Kepala putusan, yaitu harus dicantumkannya “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa .
  2. Identitas para pihak
  3. Pertimbangan atau alasan-alasan,
  4. Amar atau dictum putusan.

Berdasarkan uraian diatas, sangat jelas tahap-tahap persidangan dari mulai pengajuan gugatan sampai dengan duplik yang pada akhirnya sampai dengan pembuktian, penyitaan, pemeriksaan setempat, kesimpulan dan putusan yang akan dibahas pada bab berikutnya.

Menurut Ridwan Syahrani, jika perkara perdata tidak dapat diselesaikan secara damai, tahapan-tahapan pemeriksaannya di Pengadilan Negeri dapat digambarkan sebagai berikut :[18]

  1. Penggugat mengajukan gugatan ke panitera pengadilan.
  2. Tergugat menyampaikan eksepsi / jawaban.
  3. Penggugat menyampaik replik.
  4. Tergugat menyampaikan duplik.
  5. Penggugat dan tergugat menyampaikan alat-alat bukti.
  6. Penggugat dan tergugat menyampaikan tanggapan terhadap alat bukti yang diajukan pihak lawan.
  7. Pemerisaan setempat (jika diperlukan).
  8. Penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulan (jika diperlukan) dan
  9. Hakim membacakan putusan (vonis).

Setelah vonis dibacakan, pasti ada yang menang dan kalah, yang kalah pasti merasa dirugikan jika ditinjau dari segi kepentingannya, maka dalam hal ini dapat mengajukan keberatan dengan cara mengajukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi wilayah hukum masing-masing, misalnya jika putusan dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Tembilahan, maka banding dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi Pekanbaru.

Berita Terbaru “Law Firm Dr. iur. Liona N. Supriatna, S.H, M.Hum. – Andri Marpaung, S.H. & Partner’s ”:

  1. KABAR GEMBIRA TELAH DIBUKA: PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT (PKPA) ANGKATAN IX ANGKATAN 2020 DPC PERADI BANDUNG BEKERJASAMA DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
  2. Nikson Kennedy Marpaung, S.H, M.H, CLA
  3. LIDOIWANTO SIMBOLON, SH
  4. Priston Tampubolon, S.H
  5. INILAH DAFTAR ALAMAT DPC PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI) SELURUH INDONESIA
  6. SEJARAH HUKUM PIDANA INDONESIA
  7. Inilah Biografi Lengkap 7 Presiden Republik Indonesia Dari Dari Indonesia Merdeka Hingga Saat Ini
  8. Kabar Gembira, Ayo Ikuti Webinar Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ) Bandung
  9. Ulasan Lengkap Tentang Dasar Hukum Pengangguhan Penahanan
  10. Profil Dekan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan
  11. Perlindungan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Undang-Undang Intelijen Republik Indonesia
  12. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Bagi Tenaga Kerja Indonesia Di Negara Penerima Kerja
  13. Bagaimana Cara Mendirikan PT (Persero)
  14. Ketentuan-Ketentuan Hukum Dalam Bahasa Inggris
  15. Sejarah KUHP Di Indonesia
  16. TEORI-TEORI PEMIDANAAN DAN TUJUAN PEMIDANAAN
  17. TUJUAN HUKUM PIDANA
  18. MACAM-MACAM SANKSI PIDANA DAN PENJELASANNYA
  19. MENGENAL BUDAYA BATAK, DALIHAN NA TOLU DAN PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA SERTA TATA CARA PELAKSANAAN PERKAWINANNYA
  20. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
  21. ADVOKAT ADALAH PENEGAK HUKUM, APA KATA HUKUM ???
  22. APA SAJA HAK – HAK ANDA DAN APA SAJA MEMBERI HUKUM YANG DILALUI KETIKA MENGHADAPI MASALAH HUKUM DALAM PERKARA PIDANA BAIK DI KEPOLISAN, KEJAKSAAN, PENGADILAN NEGERI, PENGADILAN TINGGI DAN MAHKAMAH AGUNG
  23. BIDANG PERLINDUNGAN & PEMBELAAN PROFESI ADVOKAT DPC PERADI BANDUNG
  24. Rekomendasi Objek Wisata Terbaik Di Provinsi Jawa Barat
  25. Profil Purnawirawan Walikota TNI AD Muhammad Saleh Karaeng Sila
  26. Dampak Covid-19 Bagi Perusahaan Dan Imbasnya Bagi Karyawan
  27. Penasaran, Apa Sih Arti Normal Baru Dalam Pandemi Copid-19
  28. Info Kantor Hukum Kota Bandung & Cimahi
  29. TUJUAN PEMIDANAAN DAN TEROI-TEORI PEMINDANAAN
  30. TEORI-TEORI PEMIDANAAN
  31. Informasi Daftar Kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Seluruh Indonesia
  32. 8 Pengacara Batak Paling Terkenal di Indonesia Yang Bisa Dijadikan Inspirasi
  33. Dafar Nama Perusahaan Di Kota Bandung
  34. DAFTAR PUSAT BANTUAN HUKUM PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA SELURUH INDONESIA
  35. Daftar Kantor Pengacara Di Bandung
  36. Daftar Nama dan Alamat Perusahaan BUMN di Bandung dan Jakarta
  37. Bagaimana Proses dan Perbaikan Penyelesaian Perkara Pada Tingkat Penyelidikan dan Penyidikan Dikepolisian?
  38. Upaya Hukum Terhadap Sertifikat Yang Tidak Dapat Diserahkan Bank atau pengembang Kepada Pemegang Cessie Yang Baru.
  39. Bagaimana Cara Pengajuan Penundaan Pembayaran dan Keringanan Hutang Ditengah Pandemi Covid-19
  40. Cara dan Prosedur Melaporkan Tindak Pidana Di Kepolisian
  41. Apakah Suatu Ketentuan Hukum Boleh Bertentangan Dengan Hukum Diatasnya? Bagaimana Jenis Dan Hierarki Peraturan Perundang-Undang Di Indonesia?
  42. RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Harus Lindungi Hak-Hak Pekerja / Buruh
  43. Apa Syarat Agar Dapat Diterima Perusahaan Pailit?
  44. Cara Membedakan Penipuan dan Penggelapan
  45. SEMA NO. 02 TAHUN 2020 MENGENAI LARANGAN MEREKAM DAN PENGAMBILAN FOTO DI RUANG SIDANG PENGADILAN BERTENTANGAN DENGAN HUKUM
  46. Bagaimana Tata Cara Mendirikan Perusahaan
  47. Apakah Rakyat Berhak Melakukan Penambangan Menurut Hukum?
  48. Bolekah Pemegang Izin Usaha Pertambangan Emas dan Batubara Diberikan Hak Atas Tanah?
  49. Cara meminta pembatalan Surat Keuputsan TUN Berupa Sertifikat Hak Milik (SHM)
  50. Cek Kosong Apakah Pidana Atau Perdata

sumber:tiarramon.wordpress.com

[1] Lihat Bab II tentang Gugatan lisan dan tertulis.

[2] Pasa 17 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang dianggap bertempat tinggal di tempat yang dijadikan pusat kediamannya. Bila tidak ada tempat kediaman yang demikian, maka tempat kediaman yang sesungguhnya dianggap sebagai tempat tinggal. Hal dapat dilihat dari Kartu Tanda Penduduk (KTP).

[3]http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f91061b34af4/tergugat-di-luar-negeri/diakses 30 Oktober 2016 jam .51 Wib

[4]Apabila penggugat tidak menambah biaya kekurangan panjar atau persekot perkara dapat menjadi alasan hakim menggugurkan gugatan karena dinggap penggugat tidak lagi meneruskan gugatannya. Hal ini berkaitan juga asas berperkara perdata dikenakan biaya, seperti biaya kepaniteraan, biaya panggilan, biaya pemberitahuan dan biaya materai (lihat putusan Pengadilan Negeri Baturaja tamggal 6 Juni 1971 Nomor 6/1971/Pdt mengenai gugurnya gugatan karena tidak menambah biaya panjar perkara).

[5]Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuaan Kehakiman) menyatakan bahwa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

[6]Lihat Pasal 32 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Presedur Mediasi di Pengadilan.

[7] M. Yahya Harahap, hlm.

[8]M. Yahya Harahap, hlm. 450

[9] M. Yahya Harahap, hlm. 451.

[10] Abdul Manan, hlm. 54.

[11] Darwan Print,  hlm. 175.

[12]Ibid.

[13]Ibid.

REFERENCE

Prinst, Darwan. 2002. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti

Harahap, M. Yahya . 2007. Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Dalam Tingkat Banding. Jakarta: Sinar Grafika.
__________________. 2015. Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

Manan, Abdul. 2000. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan Al hikmah.

Syahrani, Ridwan. 2000. Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
HIR (Herzeine Inlandsch Reglement= Hukum acara perdata yang berlaku di Jawa dan Madura)
RBg (Reglement voor de Buitengewesten=Hukum Acara Perdata yang berlaku diluar Jawa dan Madura).

[14] https://seniorkampus.blogspot.com/2017/12/07-tahap-tahap-persidangan-acara-perdata.html/dialses 23 Deswmwe 2017 Pukul 22.30 Wi.

[15] http://www.boyyendratamin.com/2013/05/prinsip-dan-teknik-menyusun-replik-dan.html/diakses  tanggal 23 Desemer 2017 Pukul 21.52 Wib.

[16] http://www.boyyendratamin.com/2013/05/prinsip-dan-teknik-menyusun-replik-dan.html/ tanggal 23 Desemer 2017 Pukul 21.54 Wib.

[17] Darwan Print, hlm 176.

[18] Riduan, hlm. 81.

6 thoughts on “PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA GUGATAN DI PENGADILAN”

Leave a Reply to sikis izle Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *