fbpx

Apakah Hakim Boleh Memutus Lebih Berat Dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dalam Perkara Pidana ?

Bagikan:  Facebook  Twitter  Pinterest  Linkedin  WhatsApp

Surat tuntutan diajukan oleh penuntut umum setelah pemeriksaan di sidang pengadilan dinyatakan selesai Jadi, surat tuntutan dibacakan setelah proses pembuktian di persidangan pidana selesai dilakukan.

Pengaturan mengenai tuntutan pidana dan pembelaan terdapat dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

Baca juga artikel ini:

  1. Ulasan Mengenai Perusahaan Mendaptarkan Pekerja Ke Program Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK)
  2. Ulasan Mengenai Prosedur Sita dan Eksekusi
  3. Legalitas Perkawinan Beda Agama Di Indonesia
  4. Hukum Bisnis: Lindungi Bisnis Anda dari Segala Risiko yang Mungkin Terjadi
  5. Mengenal Hukum Bisnis Secara Detail dan Lengkap
  1. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana;
  2. Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir;
  3. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.

Terhadap tuntutan pidana (rekuisitor) yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum berhak mendapat kesempatan mengajukan pembelaan. Atas pembelaan itu penuntut umum berhak pula mendapat kesempatan mengajukan jawaban atau replik. Dan atas replik ini terdakwa atau penasihat hukum berhak untuk mendapat kesempatan untuk mengajukan duplik atau jawaban kedua kali (rejoinder).

Lantas, apa yang menjadi ukuran bagi majelis hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan? Bolehkah hakim menjatuhkan putusan yang ultra petita (melebihi apa yang dituntut)? Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyebutkan:

Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya.

Jadi seorang hakim menuliskan dalam bukunya bahwa putusan pemidanaan (veroordeling) dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP tersebut dapat terjadi jika:

  1. Dari hasil pemeriksaan di depan persidangan;
  2. Majelis hakim berpendapat bahwa:
  3. Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;
  4. Perbuatan terdakwa tersebut merupakan lingkup tindak pidana kejahatan (misdrijven) atau pelanggaran (overtredingen).
  5. Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta di persidangan sesuai Pasal 183 dan 184 ayat (1) KUHAP.
  6. Oleh karena itu, majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa.

Jadi, rujukan majelis hakim dalam memutus perkara adalah surat dakwaan jaksa, bukan surat tuntutan. Sehubungan dengan itu, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 354) menuliskan:

Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.

Pemutusan Pemidanaan

Secara normatif tidak ada satu pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan tuntutan Jaksa/Penuntut Umum. Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya, bisa lebih tinggi dari apa yang dituntut.

M. Yahya Harahap menyebutkan ‘hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana (strafmaat)yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas’. Undang-Undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pasal pidana bersangkutan. Pasal 12 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) menegaskan hukuman pidana penjara selama waktu tertentu itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut.

Ancaman pidana yang dimuat dalam perundang-undangan menunjukkan ketercelaan perbuatan yang dimanifestasikan dalam bentuk dan jumlah pidana yang diancamkan. Ancaman pidana yang tinggi menunjukkan ketercelaan yang tinggi dari perbuatan yang dilarang.

Kebebasan dan Independensi Hakim dalam Memutus Perkara

Sebuah penelitian yang dilaksanakan Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung (2015) juga menyimpulan KUHAP tidak mengatur bahwa putusan pemidanaan harus sesuai atau di bawah dari tuntutan Jaksa/Penuntut Umum. Dalam kasus tertentu dimana ditemukan fakta persidangan terdapat hal-hal yang memberatkan sehingga hakim memiliki keyakinan untuk menjatuhkan pidana lebih tinggi dari tuntutan jaksa, maka hukuman itu tidaklah melanggar hukum acara pidana.

Untuk memperjelas masalah ini kami kutipkan bagian lain dari kesimpulan penelitian tersebut:

Merupakan kewenangan daripada hakim memutus sesuai fakta persidangan dan keyakinannya memberikan pemidanaan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum jika dirasa adil dan rasional. Apalagi merupakan sebuah realitas bahwa tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum tidaklah selalu sama atau sesuai dengan batasan maksimal ancaman pidana yang terdapat secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Hakim dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun tidak boleh melebihi batas maksimum ancaman pidana yang ditentukan Undang-Undang.

Meskipun ada kebebasan dan independensi hakim dalam menjatuhkan putusan, bukan berarti tak ada batasan. Batasan-batasan dimaksud antara lain:

  1. Tidak boleh melebihi ancaman maksimal pasal yang didakwakan. Misalnya, Pasal 156a KUHP memuat ancaman maksimal lima tahun. Maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari lima tahun kepada terdakwa. Tetapi hakim boleh menjatuhkan hukuman sama dengan atau lebih rendah dari lima tahun. Lihat misalnya putusan MA No. 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.
  2. Tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya (strafsoort) tidak ada acuannya dalam KUHP atau peraturan pidana di luar KUHP.
  3. Putusan pemidanaan itu harus memberikan pertimbangan yang cukup berdasarkan bukti. Dalam banyak putusan, antara lain putusan MA No. 202 K/Pid/1990 tanggal 30 Januari 1993, Mahkamah Agung menyatakan putusan yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan. Misalkan, pengadilan tinggi menambah hukum terdakwa lebih tinggi dari yang diputus hakim tingkat pertama tetapi kurang dipertimbangkan dan dijelaskan alasan menaikkan hukuman. Putusan yang demikian dapat dibatalkan.

Jika Hakim Menaikkan Hukuman Selain Pidana Penjara

Pertanyaan lanjutannya, apakah hakim boleh juga menaikkan hukuman selain pidana penjara? Praktik pengadilan selama ini menunjukkan bukti bahwa hakim dapat menjatuhkan hukuman denda atau ganti rugi daripada yang dituntut oleh jaksa. Bahkan, sudah pernah terjadi dalam perkara korupsi, hakim memberikan hukuman tambahan sebagaimana dimaksud Pasal 10 KUHP berupa pencabutan hak politik meskipun jaksa tak memintanya dalam surat tuntutan. Sebaliknya, ada kalanya hakim tak mengabulkan permintaan jaksa agar hak politik terdakwa dicabut. Ini menunjukkan bahwa mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa sangat bergantung pada penilaian/keyakinan majelis hakim.

Tetapi hakim bukanlah sekadar corong undang-undang (la bouche de la loi). Hakim juga menjadi pemberi makna melalui penemuan hukum atau konstruksi hukum. Dalam menegakkan hukum, hakim harus berusaha membuat putusannya adil dan berkeadilan. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa Hakim dalam menjatuhkan putusannya terikat pada surat dakwaan yang dibuat dan diajukan oleh JPU dalam persidangan. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 183 ayat 3 dan 4 KUHAP bahwa Majelis Hakim dalam melakukan musyawarah untuk mengambil keputusan harus didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti di dalam persidangan.

Begitu juga sebaliknya, Majelis Hakim bisa saja menjatuhkan putusan yang lebih rendah dari tuntutan JPU, bahkan Majelis Hakim dapat memberikan putusan bebas (vrijspraak). Van Bemmelen mengatakan Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas apabila hakim tidak memperoleh keyakinan mengenai kebenaran akan perbuatan terdakwa atau setidak-tidaknya perbuatan tersebut bukan terdakwa yang melakukannya. Mengenai hal tersebut juga disebutkan secara tegas dalam Pasal 191 ayat 1 KUHAP bahwa dalam hal pengadilan berpendapat bahwa perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (asas actore non probante reus absolvitur).

Dari penjelasan di atas dapat kami sampaikan bahwa sekalipun jaksa tidak menuntut suatu pasal, hakim tetap dapat menggunakannya sepanjang jaksa telah memasukkan pasal itu ke dalam surat dakwaan. Jika jaksa tak memasukkan pasal tersebut dalam surat dakwaan, tak ada pijakan hukum bagi hakim untuk menggunakan pasal itu menjerat terdakwa.

perlu dipahami kewenangan yang dimiliki oleh Hakim dalam sistem peradilan di Indonesia. Salah satu kewenangan Hakim sebagai organ kekuasaan kehakiman adalah memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Hakim dalam menjalankan fungsi kehakiman menganut prinsip “Freedom of Judge”, artinya Hakim diberikan “kebebasan” dalam menjatuhkan putusannya. Meski ada kebebasan yang melekat dalam jabatannya, bukan berarti Hakim dapat dengan sewenang-wenang dalam menjatuhkan vonis.

Kebebasan Hakim bukanlah kebebasan yang mutlak dan tanpa batas. Dalam konferensi International Commission of Jurist, disebutkan juga bahwa kebebasan itu bukan berarti Hakim dapat bertindak sewenang-wenang (Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner). Dalam sistem peradilan Indonesia sendiri, Hakim dalam memberikan putusan harus didasari oleh 2 alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hati nuraninya (vide Pasal 183 KUHAP).

Berita Terbaru “Law Firm Dr. iur. Liona N. Supriatna, S.H, M.Hum. – Andri Marpaung, S.H. & Partner’s ”:

  1. KABAR GEMBIRA TELAH DIBUKA: PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT (PKPA) ANGKATAN IX ANGKATAN 2020 DPC PERADI BANDUNG BEKERJASAMA DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
  2. Nikson Kennedy Marpaung, S.H, M.H, CLA
  3. LIDOIWANTO SIMBOLON, SH
  4. Priston Tampubolon, S.H
  5. INILAH DAFTAR ALAMAT DPC PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI) SELURUH INDONESIA
  6. SEJARAH HUKUM PIDANA INDONESIA
  7. Inilah Biografi Lengkap 7 Presiden Republik Indonesia Dari Dari Indonesia Merdeka Hingga Saat Ini
  8. Kabar Gembira, Ayo Ikuti Webinar Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ) Bandung
  9. Ulasan Lengkap Tentang Dasar Hukum Pengangguhan Penahanan
  10. Profil Dekan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan
  11. Perlindungan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Undang-Undang Intelijen Republik Indonesia
  12. Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Bagi Tenaga Kerja Indonesia Di Negara Penerima Kerja
  13. Bagaimana Cara Mendirikan PT (Persero)
  14. Ketentuan-Ketentuan Hukum Dalam Bahasa Inggris
  15. Sejarah KUHP Di Indonesia
  16. TEORI-TEORI PEMIDANAAN DAN TUJUAN PEMIDANAAN
  17. TUJUAN HUKUM PIDANA
  18. MACAM-MACAM SANKSI PIDANA DAN PENJELASANNYA
  19. MENGENAL BUDAYA BATAK, DALIHAN NA TOLU DAN PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA SERTA TATA CARA PELAKSANAAN PERKAWINANNYA
  20. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
  21. ADVOKAT ADALAH PENEGAK HUKUM, APA KATA HUKUM ???
  22. APA SAJA HAK – HAK ANDA DAN APA SAJA MEMBERI HUKUM YANG DILALUI KETIKA MENGHADAPI MASALAH HUKUM DALAM PERKARA PIDANA BAIK DI KEPOLISAN, KEJAKSAAN, PENGADILAN NEGERI, PENGADILAN TINGGI DAN MAHKAMAH AGUNG
  23. BIDANG PERLINDUNGAN & PEMBELAAN PROFESI ADVOKAT DPC PERADI BANDUNG
  24. Rekomendasi Objek Wisata Terbaik Di Provinsi Jawa Barat
  25. Profil Purnawirawan Walikota TNI AD Muhammad Saleh Karaeng Sila
  26. Dampak Covid-19 Bagi Perusahaan Dan Imbasnya Bagi Karyawan
  27. Penasaran, Apa Sih Arti Normal Baru Dalam Pandemi Copid-19
  28. Info Kantor Hukum Kota Bandung & Cimahi
  29. TUJUAN PEMIDANAAN DAN TEROI-TEORI PEMINDANAAN
  30. TEORI-TEORI PEMIDANAAN
  31. Informasi Daftar Kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Seluruh Indonesia
  32. 8 Pengacara Batak Paling Terkenal di Indonesia Yang Bisa Dijadikan Inspirasi
  33. Dafar Nama Perusahaan Di Kota Bandung
  34. DAFTAR PUSAT BANTUAN HUKUM PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA SELURUH INDONESIA
  35. Daftar Kantor Pengacara Di Bandung
  36. Daftar Nama dan Alamat Perusahaan BUMN di Bandung dan Jakarta
  37. Bagaimana Proses dan Perbaikan Penyelesaian Perkara Pada Tingkat Penyelidikan dan Penyidikan Dikepolisian?
  38. Upaya Hukum Terhadap Sertifikat Yang Tidak Dapat Diserahkan Bank atau pengembang Kepada Pemegang Cessie Yang Baru.
  39. Bagaimana Cara Pengajuan Penundaan Pembayaran dan Keringanan Hutang Ditengah Pandemi Covid-19
  40. Cara dan Prosedur Melaporkan Tindak Pidana Di Kepolisian
  41. Apakah Suatu Ketentuan Hukum Boleh Bertentangan Dengan Hukum Diatasnya? Bagaimana Jenis Dan Hierarki Peraturan Perundang-Undang Di Indonesia?
  42. RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Harus Lindungi Hak-Hak Pekerja / Buruh
  43. Apa Syarat Agar Dapat Diterima Perusahaan Pailit?
  44. Cara Membedakan Penipuan dan Penggelapan
  45. SEMA NO. 02 TAHUN 2020 MENGENAI LARANGAN MEREKAM DAN PENGAMBILAN FOTO DI RUANG SIDANG PENGADILAN BERTENTANGAN DENGAN HUKUM
  46. Bagaimana Tata Cara Mendirikan Perusahaan
  47. Apakah Rakyat Berhak Melakukan Penambangan Menurut Hukum?
  48. Bolekah Pemegang Izin Usaha Pertambangan Emas dan Batubara Diberikan Hak Atas Tanah?
  49. Cara meminta pembatalan Surat Keuputsan TUN Berupa Sertifikat Hak Milik (SHM)
  50. Cek Kosong Apakah Pidana Atau Perdata

Dasar hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
  3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Referensi:

  1. Lilik Mulyadi. Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia: Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.
  2. M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
  3. Mahkamah Agung. Pengkajian tentang Putusan Pemidanaan Lebih Tinggi dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Laporan Penelitian. Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2015.
  4. Muhammad Ainul Syamsu. Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Kencana, 2016.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *