
Berita Terbaru “Law Firm Dr. iur. Liona N. Supriatna, S.H, M.Hum. – Andri Marpaung, S.H. & Partner’s ”: Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan hukuman terhadap pembuat karena perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan hukuman yang ada pada tindak pidana kepada pembuatnya. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan hukuman yang secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.
Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur tindak pidana. Dengan demikian kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.[1] Seseorang dinyatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.[2]
Baca juga artikel ini:
- Cara Membedakan Penipuan dan Penggelapan
- SEMA NO. 02 TAHUN 2020 MENGENAI LARANGAN MEREKAM DAN PENGAMBILAN FOTO DI RUANG SIDANG PENGADILAN BERTENTANGAN DENGAN HUKUM
- Bagaimana Tata Cara Mendirikan Perusahaan
- Apakah Rakyat Berhak Melakukan Penambangan Menurut Hukum?
- Bolekah Pemegang Izin Usaha Pertambangan Emas dan Batubara Diberikan Hak Atas Tanah?
- Cara meminta pembatalan Surat Keuputsan TUN Berupa Sertifikat Hak Milik (SHM)
- Cek Kosong Apakah Pidana Atau Perdata
- Upaya Hukum Eksekusi Terhadap Objek Hak Tanggungan Pada Kredit Macet
- Tips Menghindari Pasal Perbuatan Melawan Hukum Dalam Penilaian Aset
- Ulasan Mengenai Ada Tiga Cara Pembagian Harta Warisan Di Indonesia
- Ancaman Pidana Penjara Bagi Pelaku Menjaminkan Sertifikat Orang Lain Tanpa Seiziin Pemegang Hak
- Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Macet Dan Cara Penyelesaiannya
Untuk dapat mengenakan pidana pada pelaku karena melakukan tindak pidana, aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi hukuman. Pertanggungjawaban pidana yang menyangkut masalah pembuat dari tindak pidana, aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan regulasi mengenai bagaimana memperlakukan mereka yang melanggar kewajiban.
Jadi perbuatan yang dilarang oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada sipembuatnya, artinya hukuman yang objektif terhadap hukuman itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Pertanggungjwaban pidana tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar tidak dapat dipertanggungjawaban. Jadi orang yang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidananya kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana tidak selalu dia dapat dipidana.
Van Hamel, mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk: (a) Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri; (b) Menyadari bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat, dan (c) Menentukan kemampuan terhadap perbuatan.[3]
Selanjutnya dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Hal ini mengandung arti bahwa pembuat atau pelaku tindak pidana hanya dapat dipidana apabila jika dia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.
Menurut Simons, sebagai dasar pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya (kesalahan itu) dengan kelakukan yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaan itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya. Untuk adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu:[4]
- Kemampuan bertanggungjawab;
- Hubungan, kejiwaan antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan (termasuk pula kelakuan yang tidak bertentangan dalam hukum dalam kehidupan seharihari;
- Dolus dan culpa, kesalahan merupakan unsur subjektif dari tindak pidana. Hal ini sebagai konsekuensi dari pendapatnya yang menghubungkan (menyatukan) straafbaarfeit dengan kesalahan.
Unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana disebut juga elemen delik (unsur delik). Elemen delik itu adalah bagian dari delik. Dalam penuntutan sebuah delik, harus dibuktikan semua elemen delik yang dituduhkan kepada pembuat delik. Oleh karena itu jika salah satu unsur atau elemen delik tidak terpenuhi, maka pembuat delik tersebut tidak dapat dipersalahkan melakukan delik yang dituduhkan, sehingga pembuat delik harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslaag van rechts alle vervologing). Elemen delik umumnya terbagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
- Unsur obyektif, atau yang biasa disebut actus reus, dan
- Unsur subyektif, atau yang biasa disebut mens rea.[5]
Unsur delik Obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur obyektif dari tindak pidana meliputi:
- Sifat melawan hukum,
- Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana diatur dalam Pasal 415 KUHP, dan
- Kausalitas, hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat. Elemen delik obyektif adalah elemen delik yang berkaitan dengan perbuatan (act, daad) dari pelaku delik, yaitu:
- Wujud perbuatan (aktif, pasif), atau akibat yang kelihatan
Suatu delik dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif ataupun kelakuan pasif, sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya. Misalnya dalam delik pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) wujud perbuatannya adalah mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya. Contoh lain delik tidak memenuhi panggilan di sidang pengadilan sebagai saksi, ahli, juru bahasa (Pasal 224 KUHP). Jadi wujud perbuatan dimaksud adalah aktif atau pasif, meliputi jenis delik komisi, atau jenis delik omisi, atau delictum commissionis per ommissionem commissa, atau delik tidak mentaati larangan dilanjutkan dengan cara tidak berbuat.
- Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum;
Perbuatan yang disyaratkan untuk memenuhi elemen delik obyektif adalah bahwa dalam melakukan perbuatan itu harus ada elemen melawan hukum (wedderectelijkheids, unlawfull act, onrechtma-tigedaad). Suatu perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang dilarang untuk dipatuhi, atau diperintahkan untuk tidak dilakukan seperti yang tercantum dalam aturan pidana. Hukum Pidana membedakan sifat melawan hukum menjadi 2 (dua) macam arti utama, yaitu:
- Melawan hukum dalam arti formil.
Zainal Abidin[6] menjelaskan bahwa dikatakan formil karena undang-undang pidana melarang atau memerintahkan perbuatan itu disertai ancaman sanksi kepada barang siapa yang melanggar atau mengabaikannya. Arti perbuatan melawan hukum formil adalah unsur-unsur yang bersifat konstitutif, yang ada dalam setiap rumusan delik dalam aturan pidana tertulis, walaupun dalam kenyataanya tidak dituliskan dengan tugas bersifat melawan hukum. Dengan demikian dalam hal tidak dicantumkan berarti unsur melawan hukum diterima sebagai unsur kenmerk (diterima secara diam-diam, implicit). Melawan hukum formil lebih mementingkan kepastian hukum (rechtszekerheids) yang bersumber dari asas legalitas (principle of legality, legaliteit benginsel).
- Melawan hukum dalam arti meteriil.
Disebut materiil oleh karena sekalipun suatu perbuatan telah sesuai dengan uraian di dalam undang-undang, masih harus diteliti tentang penilaian masyarakat apakah perbuatan itu memang tercela dan patut dipidana pembuatnya atau tidak tercela, ataupun dipandang sifatnya terlampau kurang celaannya sehingga pembuatnya tak perlu dijatuhi sanksi pidana, tetapi cukup dikenakan sanksi dalam kaidah hukum lain, atau kaidah sosial lain. Arti perbuatan melawan hukum materiil adalah unsur yang berkaitan dengan asas culpabilitas (penentuan kesalahan pembuat delik), atau nilai keadilan hukum yang ada dalam masyarakat, dan tingkat kepatutan dan kewajaran.
- Dalam melakukan perbuatan itu tidak ada Dasar Pembenar.
Suatu perbuatan dikualifikasi sebagai telah terjadi delik, bila dalam perbuatan itu tidak terkandung Dasar Pembenar, sebagai bagian dari Elemen Delik Obyektif (actus reus). Dimaksudkan dengan Dasar Pembenar adalah dasar yang menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan yang sudah dilakukan pembuat delik. Artinya jika perbuatan itu mengandung dasar pembenar berarti salah satu unsur delik (elemen delik) obyektif tidak terpenuhi, yang mengakibatkan pelaku (pembuat) delik tidak dapat dikenakan pidana. Dalam KUHP terdapat beberapa jenis Dasar Pembenar, yaitu: (1) Daya Paksa Relatif (vis compulsiva), (2) Pembelaan Terpaksa, (3) Melaksanakan Perintah Undang-Undang, dan (4) Melaksanakan Perintah Jabatan Yang Berwenang.
Selanjutnya unsur delik subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur subyektif dari tindak pidana meliputi:
- Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa),
- Maksud pada suatu percobaan (Pasal 53 ayat (1) KUHP),
- Macam-macam maksud (oogmerk) seperti tindak pidana pencurian,
- Merencanakan terlebih dahulu misalnya Pasal 340 KUHP.
Unsur (elemen) delik subyektif dalam Hukum Pidana Common Law dinamakan mens rea, yaitu bagian dari sikap batin (sikap mental), bagian dari niat (pikiran) yang menjadi bagian pula dari pertanggungjawaban pidana. Jadi mensrea itu berkenaan dengan kesalahan dari pembuat delik (dader), sebab berkaitan dengan sikap batin yang jahat (criminal intent). Mens rea berkaitan pula dengan asas geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Didalam Hukum Pidana yang beraliran Anglo-saxon terkenal asas an act does not a person guality unless his mind is guality (satu perbuatan tidak menjadikan seseorang itu bersalah, terkecuali pikirannya yang salah). Elemen Delik Subyektif atau unsur mens rea dari delik atau bagian dari pertanggungjawaban pidana yang menurut Zainal Abidin,[7] terdiri dari:
- Kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheids);
KUHP tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, tetapi yang diatur justru kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP. Menurut Satochid Kartanegara[8] untuk adanya kemampuan bertanggungjawab pada seseorang diperlukan adanya 3 (tiga) syarat, yaitu:
- Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga ia dapat mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, sehingga dapat juga mengerti akibat perbuatannya;
- Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukannya itu;
- Orang itu harus sadar, insaf, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu adalah perbuatan yang terlarang atau tidak dapat dibenarkan, baik dari sudut hukum, masyarakat maupun dari sudut tata susila.
Ukuran sederhana yang dipakai adalah mengedepankan 2 (dua) faktor kehendak. Akal bisa membedakan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Kehendak bisa disesuaikan dengan keinsyafan atau kesadaran terhadap perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan seseorang. Contohnya epilepsy, hysteria, dan psikhastemi. Hakim dianjurkan untuk tidak terpengaruh dengan hasil pemeriksaan psikiatri. Opini psikiatri adalah tetap dijadikan salah satu alat bukti (keterangan ahli), sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
- Kesalahan dalam arti luas, yang terdiri dari:
- Dolus yang dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: (1) Sengaja sebagai maksud/niat (oogmerk), (2) Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan (zekerheidsbewustzijn); (3) Sengaja sadar akan kemungkinan (dolus eventualis, mogelijk-bewutstzijn).
- Culpa, yang di bagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) Culpa lata yang disadari; (2) Culpa lata yang tak disadari (lalai).
3. Tidak ada dasar pemaaf.
Dasar pemaaf menjadi bagian penting dari pertanggungjawaban pidana, oleh karena itu harus dipertimbangkan dalam menentukan kesalahan pelaku (pembuat delik). Sebab dasar pemaaf adalah dasar yang menghilangkan kesalahan pembuat delik, sehingga pembuat delik menjadi tidak dapat dipidana. Dasar pemaaf dalam KUHP diatur dalam Buku I Bab III dengan judul Bab (title) Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana.
Dasar pemaaf yaitu unsur-unsur delik memang sudah terbukti namun unsur kesalahan tak ada pada pembuat, jadi terdakwanya dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Termasuk dasar pemaaf adalah:
- Daya Paksa Mutlak (vis absoluta); Pasal 48 KUHP;
- Pembelaan terpaksa yang melampaui batas; Pasal 49 ayat (2) KUHP;
- Perintah jabatan yang tidak sah; Pasal 51 ayat (2) KUHP;
- Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang cacad jiwa dalam pertumbuhan, atau terganggu karena penyakit; Pasal 44 KUHP.
- [1]Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hal. 4.
- [2]Admaja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Koorporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, 2004, hal. 15.
- [3]Ibid.
- [4]Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Penerbit: Erlangga, Jakarta , 1991, hal. 34.
- [5]Ibid.
- [6]H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafiika, Jakarta, 2007, hal. 242.
- [7]Ibid., hal. 235.
- [8]Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Pres, Malang, 2008, hal. 228-229.

Berita Terbaru “Law Firm Dr. iur. Liona N. Supriatna, S.H, M.Hum. – Andri Marpaung, S.H. & Partner’s ”:
- KABAR GEMBIRA TELAH DIBUKA: PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT (PKPA) ANGKATAN IX ANGKATAN 2020 DPC PERADI BANDUNG BEKERJASAMA DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
- Nikson Kennedy Marpaung, S.H, M.H, CLA
- LIDOIWANTO SIMBOLON, SH
- Priston Tampubolon, S.H
- INILAH DAFTAR ALAMAT DPC PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI) SELURUH INDONESIA
- SEJARAH HUKUM PIDANA INDONESIA
- Inilah Biografi Lengkap 7 Presiden Republik Indonesia Dari Dari Indonesia Merdeka Hingga Saat Ini
- Kabar Gembira, Ayo Ikuti Webinar Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ) Bandung
- Ulasan Lengkap Tentang Dasar Hukum Pengangguhan Penahanan
- Profil Dekan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan
- Perlindungan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Undang-Undang Intelijen Republik Indonesia
- Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Bagi Tenaga Kerja Indonesia Di Negara Penerima Kerja
- Bagaimana Cara Mendirikan PT (Persero)
- Ketentuan-Ketentuan Hukum Dalam Bahasa Inggris
- Sejarah KUHP Di Indonesia
- TEORI-TEORI PEMIDANAAN DAN TUJUAN PEMIDANAAN
- TUJUAN HUKUM PIDANA
- MACAM-MACAM SANKSI PIDANA DAN PENJELASANNYA
- MENGENAL BUDAYA BATAK, DALIHAN NA TOLU DAN PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA SERTA TATA CARA PELAKSANAAN PERKAWINANNYA
- ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
- ADVOKAT ADALAH PENEGAK HUKUM, APA KATA HUKUM ???
- APA SAJA HAK – HAK ANDA DAN APA SAJA MEMBERI HUKUM YANG DILALUI KETIKA MENGHADAPI MASALAH HUKUM DALAM PERKARA PIDANA BAIK DI KEPOLISAN, KEJAKSAAN, PENGADILAN NEGERI, PENGADILAN TINGGI DAN MAHKAMAH AGUNG
- BIDANG PERLINDUNGAN & PEMBELAAN PROFESI ADVOKAT DPC PERADI BANDUNG
- Rekomendasi Objek Wisata Terbaik Di Provinsi Jawa Barat
- Profil Purnawirawan Walikota TNI AD Muhammad Saleh Karaeng Sila
- Dampak Covid-19 Bagi Perusahaan Dan Imbasnya Bagi Karyawan
- Penasaran, Apa Sih Arti Normal Baru Dalam Pandemi Copid-19
- Info Kantor Hukum Kota Bandung & Cimahi
- TUJUAN PEMIDANAAN DAN TEROI-TEORI PEMINDANAAN
- TEORI-TEORI PEMIDANAAN
- Informasi Daftar Kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Seluruh Indonesia
- 8 Pengacara Batak Paling Terkenal di Indonesia Yang Bisa Dijadikan Inspirasi
- Dafar Nama Perusahaan Di Kota Bandung
- DAFTAR PUSAT BANTUAN HUKUM PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA SELURUH INDONESIA
- Daftar Kantor Pengacara Di Bandung
- Daftar Nama dan Alamat Perusahaan BUMN di Bandung dan Jakarta
- Bagaimana Proses dan Perbaikan Penyelesaian Perkara Pada Tingkat Penyelidikan dan Penyidikan Dikepolisian?
- Upaya Hukum Terhadap Sertifikat Yang Tidak Dapat Diserahkan Bank atau pengembang Kepada Pemegang Cessie Yang Baru.
- Bagaimana Cara Pengajuan Penundaan Pembayaran dan Keringanan Hutang Ditengah Pandemi Covid-19
- Cara dan Prosedur Melaporkan Tindak Pidana Di Kepolisian
- Apakah Suatu Ketentuan Hukum Boleh Bertentangan Dengan Hukum Diatasnya? Bagaimana Jenis Dan Hierarki Peraturan Perundang-Undang Di Indonesia?
- RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Harus Lindungi Hak-Hak Pekerja / Buruh
- Apa Syarat Agar Dapat Diterima Perusahaan Pailit?
- Cara Membedakan Penipuan dan Penggelapan
- SEMA NO. 02 TAHUN 2020 MENGENAI LARANGAN MEREKAM DAN PENGAMBILAN FOTO DI RUANG SIDANG PENGADILAN BERTENTANGAN DENGAN HUKUM
- Bagaimana Tata Cara Mendirikan Perusahaan
- Apakah Rakyat Berhak Melakukan Penambangan Menurut Hukum?
- Bolekah Pemegang Izin Usaha Pertambangan Emas dan Batubara Diberikan Hak Atas Tanah?
- Cara meminta pembatalan Surat Keuputsan TUN Berupa Sertifikat Hak Milik (SHM)
- Cek Kosong Apakah Pidana Atau Perdata
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana)
- Ulasan Hukum Mengenai Kedudukan KUHPidana dan KUHPerdata dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
- MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA: PERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 4 TAHUN 2020 TENTANG ADMINISTRASI DAN PERSIDANGAN PERKARA PIDANA DI PENGADILAN SECARA ELEKTRONIK
- MAHKAMAH AGUNG TERBITKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 1 TAHUN 2020 TENTANG PEDOMAN PEMIDANAAN PASAL 2 DAN PASAL 3 UNDANG – UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI